Pagi itu langit sedikit mendung. Sambil bersiap ke kelas bahasa Arab, saya naik ke lantai dua bersama Atikah, salah seorang santri banat kelas empat SDTA Kuttab Rumah Qur’an. Dari lantai dua saya mengarahkan pandangan ke arah tempat bermain, memperhatikan santri banin yang asyik bermain sepak bola dalam pengawasan Ustadz Lukman.
Saya coba mengambil gambar, tetapi langkah dan sosok mereka tak terlihat jelas. Hasil bidikan itu didominasi hitam paranet dan hijaunya labu siam.
“Kalau dari lantai tiga bagus paling.” Saya berkata pada Atikah yang diam di belakang saya, menunggu dengan penuh kesabaran.
Di lantai tiga, saya mendapatkan jarak pandang yang lebih bagus. Salah satu dari santri banin jelas memimpin. Penguasaannya pada bola memang lebih baik dibanding yang lain.
Di bawah paranet, di sebelah workshop urban farming, tiga bocah kelas satu menunduk saling berdekatan. Salah satu dari mereka mengulurkan tangan untuk menangkap ayam yang bertengger di pagar paranet urban farming kemudian meletakkan ayam itu ke tanah.
Di jalan berpaving, ada kelompok lain yang sedang bermain. Mereka menggunakan bola yang setengah kempis, dan ingatan saya langsung menuju Nabhan.
Nabhan, santri kelas kubro yang duduk di kelas tiga, kemarin masuk ke kelas saya dengan napas terengah-engah.
“Ustadzah!” serunya. “Ada tendangan maut!”
Pembukaan yang bombastis.
“Itu, tadi, ada yang nendang bola, Ustadzah. Sampai bolong bolanya.”
Saya tersenyum lebar. Nabhan hanya ingin bercerita. Ia tak menunggu saya bereaksi. Bocah itu langsung balik badan dan menghilang dari pandangan.
Melihat seluruh area bermain dari lantai tiga pagi itu, membuat saya berpikir, “Akan bermain di mana mereka nanti, kalau tanah pinjaman ini sudah dikembalikan?”
Area bermain di sebelah gedung SDTA Kuttab Rumah Qur’an memang tanah yang dipinjamkan.

Allah memberikan banyak kemudahan pada kami, sehingga anak-anak bebas bermain di tanah yang memang belum digunakan oleh sang pemilik. Kami juga dipermudah untuk menggunakan apartemen yang belum berlanjut pembangunannya. Siapa lagi yang memudahkan izin dari pemilik tanah dan bangunan itu jika bukan Sang Khaliq?
Ada sedih. Ada juga keikhlasan.
Mengingatkan saya pada pinjaman yang lain lagi. Area bermain itu pinjaman yang terlihat. Hak pemilik yang harus diserahkan kembali ketika diminta.
Seperti itulah segala sesuatu yang kita miliki. Anak, suami, ibu. Seluruhnya pinjaman dan amanah yang diberikan Allah. Baik atau buruk, semua hanya pinjaman.
Di dalam pinjaman itu Allah menitipkan amanah berupa syariat yang diturunkan dalam Al Qur’an dan teladan rasul-Nya.
Harta yang kita punya, hari-hari yang kita lewati, badan yang kita gunakan beraktivitas setiap waktu, lisan, mata, telinga, tangan, dan kaki.
Berbeda dengan pemilik tanah yang memberikan pemberitahuan beberapa bulan sebelum kami tak bisa lagi menggunakan lahan itu, Allah tak memberi pengumuman kapan pinjamannya akan diambil.
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari Kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.” (QS. Ali-‘Imran ayat 185)
Pagi sebelum berangkat sekolah, 4 November 2021
Ditulis oleh Yusant Noor Yulia, wali kelas 5 dan 6 SDTA Kuttab Rumah Qur’an