Kajian Parenting ‘Nasihat dan Arahan Para Nabi kepada Putranya’

Kitab ‘Asyru Rokaaiz fii Tarbiyati Al Abna’ karya Syaikh Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin Al Abbad hafizhahullah

Pilar ke-8 | Memberikan Nasihat dan Pengarahan

Syaikh Abdul Razzaq bin Abdul Muhsin mencantumkan beberapa nasihat dari para nabi. Beliau berkata, “Sungguh memberikan pengarahan ini mengikuti metode seperti yang telah dicontohkan oleh para nabi dan orang-orang shalih terdahulu,”

Sebagaimana pembahasan yang telah lalu yaitu wasiat Lukman Al Hakim. Pesan tersebut disampaikan pada waktu yang tepat, sedikit demi sedikit, sebagaimana Allah mendidik para sahabat dengan menurunkan Al-Qur’an secara bertahap (untuk menguatkan hati mereka). Yang terbaik adalah kita menjadi orang tua dalam satu menit. Maksudnya kita memberikan nasihat yang sedikit tetapi bermakna dan menghujam di hati anak-anak pada waktu dan saat yang tepat. Nasihat tersebut kita ulangi lagi pada waktu dan saat yang tepat pula.

Arahan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam

Allah menjelaskan kisah Nabi Ibrahim dalam Al Qur’an,

وَوَصَّىٰ بِهَآ إِبۡرَٰهِـۧمُ بَنِيهِ وَيَعۡقُوبُ يَٰبَنِيَّ إِنَّ ٱللَّهَ ٱصۡطَفَىٰ لَكُمُ ٱلدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ

Dan Ibrahim mewasiatkan (ucapan) itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yakub. “Wahai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” (Surat Al-Baqarah, Ayat 132)

Makna ‘ucapan itu’ dalam ayat ini adalah millah atau agama. Bisa juga bermakna inti dari ajaran agama Nabi Ibrahim, yaitu bersikap taslim (berserah diri kepada Allah). Sebagaimana yang telah dijelaskan pada ayat sebelumnya,

إِذۡ قَالَ لَهُۥ رَبُّهُۥٓ أَسۡلِمۡۖ قَالَ أَسۡلَمۡتُ لِرَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ

(Ingatlah) ketika Tuhan berfirman kepadanya (Ibrahim), “Berserahdirilah!” Dia menjawab, “Aku berserah diri kepada Tuhan seluruh alam.” (Surat Al-Baqarah, Ayat 131)

Sebagian ulama qira’ah ada yang meriwayatkan ya’qubu dan ada yang meriwayatkan ya’quba. Makna ya’qubu adalah Nabi Ibrahim dan Nabi Ya’qub ‘alaihimassalam sama-sama mewasiatkan hal yang sama, yaitu bersikap taslim, kepada anak-anak mereka.

Sedangkan makna ya’quba adalah Nabi Ibrahim mewasiatkan Islam (bersikap taslim) kepada putra beliau dan Nabi Ya’qub ‘alaihissalam. Kata ya’qubu tidak ada perbedaan dalam riwayat Hafsh dan Syu’bah. Demikian pula jumhur ulama menyatakan demikian.

Nabi Ibrahim ‘alaihissalam telah mewasiatkan kepada putra beliau bahwa Allah telah memilih agama ini, yaitu agama Islam, untuk mereka. Beliau juga berwasiat agar tidak mati kecuali dalam keadaan Islam. Beliau sangat menekankan hal ini kepada putra-putra beliau.

Orang-orang musyrik dahulu menyandarkan nasabnya kepada Nabi Ismail dan mengklaim bahwa agama yang mereka ikuti adalah agama Nabi Ismail. Begitu pun kaum Yahudi mengklaim kepada agama Nabi Ya’qub. Begitu juga kaum Nasrani. Semua klaim tersebut terbantahkan dengan turunnya ayat ini. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tidak pernah mewasiatkan agama apa pun kecuali agama Islam.

Pelajaran yang bisa kita ambil dari ayat tersebut, antara lain sebagai berikut.

  1. Para nabi dan orang shalih senantiasa berusaha menasihati dan mengarahkan anak-anak mereka hingga menjelang kematian. Wasiat memiliki pengaruh yang kuat karena jarang sekali orang yang masih hidup memiliki harapan untuk bertemu kembali dengan orang yang memberikan wasiat. Mereka mewasiatkan hal yang tidak hanya sebatas tentang dunia, tetapi juga akhirat. Pastikan anak-anak kita dalam keadaan lurus terutama setelah kita tiada. Ada pun urusan dunia adalah urusan dan hak Allah, maka serahkanlah kepada Allah.
  2. Wasiat Nabi Ibrahim ‘alaihissalam kepada anak beliau agar tetap dalam agama Islam hingga wafat. Allah juga mengisahkan kisah Nabi Ya’qub ‘alaihissalam tentang bagaimana beliau berwasiat kepada anak-anak beliau agar tetap dalam agama (millah) Ibrahim yaitu Islam dengan berserah diri kepada Allah (taslim).

Ibnu ‘Asyur mengatakan hal yang serupa. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam benar-benar mewanti-wanti anak-anak beliau agar tidak menyimpang dari agama Islam. (Tafsir Ibnu Katsir)

Imam Al Mahalli dan As Suyuthi (dalam Tafsir Al Jalalain) juga menjelaskan wasiat Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang melarang anak beliau untuk meninggalkan Islam dan tetap berpegang teguh dengannya hingga wafat.

Islam adalah orang yang menyerahkan diri dan tunduk secara total terhadap aturan Allah serta tidak membantah sedikit pun. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk menjelaskan aturan Allah. Maka tentu kita harus mengikuti aturan yang disampaikan oleh Rasulullah. Kita tidak bisa memahami Al Qur’an dan hadits dengan pemahaman kita sendiri, melainkan kita pahami dengan pemahaman para sahabat. Jika tidak, maka kita tidak akan berjalan sesuai dengan keinginan Allah dalam menjalankan syariat agama ini.

Misalkan seperti shalat. Memang benar bahwa shalat tidak dijelaskan secara jelas dalam Al Qur’an sehingga terkesan bahwa shalat itu tidak diperintahkan (tidak wajib) karena tidak dijelaskan di dalam Al Qur’an. Akan tetapi, shalat telah dijelaskan dalam hadits dan sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Jika hati kita bersih dan tunduk kepada dalil, tentu tidak sulit mengikuti hal yang demikian.

Contoh lain, keyakinan kita bahwa Allah beristiwa di atas ‘arsy sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al Qur’an, hadits-hadits nabi, dan keterangan dari para ulama. Bukan sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang yang jahil bahwa Allah ada di mana-mana dan sebagainya, yang mana ucapan mereka hanya mengikuti hawa nafsu dan logika mereka saja.

Arahan Nabi Ya’qub ‘alaihissalam

Nabi Ya’qub khawatir ketika meninggal apa yang akan disembah oleh anak-anak beliau setelah beliau meninggal. Maka dijawab oleh anak-anak beliau dengan jawaban yang menenangkan hati, sebagaimana yang telah Al-Qur’an jelaskan bahwa anak-anak Nabi Ya’qub ‘alaihissalam akan tetap memilih agama Islam sepeninggal beliau.

أَمۡ كُنتُمۡ شُهَدَآءَ إِذۡ حَضَرَ يَعۡقُوبَ ٱلۡمَوۡتُ إِذۡ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعۡبُدُونَ مِنۢ بَعۡدِيۖ قَالُواْ نَعۡبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ ءَابَآئِكَ إِبۡرَٰهِـۧمَ وَإِسۡمَٰعِيلَ وَإِسۡحَٰقَ إِلَٰهٗا وَٰحِدٗا وَنَحۡنُ لَهُۥ مُسۡلِمُونَ

Apakah kamu menjadi saksi saat maut akan menjemput Yakub, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami (hanya) berserah diri kepada-Nya.” (Surat Al-Baqarah, Ayat 133)

Kemudian Syaikh berkata, “Rabbul ‘alamin memuji nabi-Nya, yaitu Ismail, karena keadaan beliau yang selalu memerintahkan anak dan keluarga beliau untuk mengerjakan salat dan menunaikan zakat. Allah juga memerintahkan nabi-Nya (Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam) untuk menjaga penunaian shalat dan juga memerintahkan keluarga beliau untuk melakukan hal yang sama serta bersabar atasnya.

“Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan salat dan bersabarlah dalam mengerjakannya…” (QS. Thaha: 132)

Termasuk pengarahan kepada anak adalah menjauhkan anak dari hal yang merusak akhlak dan agama mereka. Terutama di zaman sekarang, hendaknya kita bersikap pertengahan dalam melarang anak berbuat hal yang terlarang, seperti musik, saluran yang membahayakan (media sosial, TV, dll), atau bermain dengan alat yang diharamkan (alat musik, dsb). Kita juga perlu mengingatkan anak agar tidak pergi ke tempat yang diharamkan.

Teknik Menasihati Anak

  1. Berikan nasihat secara ringkas, praktis, dan tidak langsung diberikan secara sekaligus (memberi nasihat secara bertahap).
  2. Bandingkan nasihat dengan sebab. Kaitkan dengan keselamatan di akhirat atau masa depannya.
  3. Pilih waktu dan kondisi yang tepat, termasuk tempat yang tepat.
  4. Jangan sering memberikan nasihat.
  5. Variasikan cara memberi nasihat.
  6. Berikan penjelasan sebelum memberi nasihat. Jelaskan letak kesalahannya lalu nasihatilah.
  7. Jangan mempermalukan dan menyakiti hatinya. Akan tetapi diperbolehkan mencaci perbuatannya apabila ia sudah sering melakukannya. Kita harus ekstra sabar dan berusaha keras dalam menasihati dan meluruskan kesalahan anak.
  8. Memvariasikan cara menasihati, seperti memberikan permisalan dan sebagainya.
  9. Jika anak sedang marah besar maka stabilkanlah emosinya terlebih dahulu. Jangan turuti kemauannya sehingga terkesan kita tidak memiliki sikap yang konsisten.

Hal yang harus dilakukan ketika anak sudah bersikap demikian antara lain:

  • Tenangkanlah dengan mengusap dada atau punggungnya.
  • Peluk dan dekaplah.
  • Jangan bicara hingga mereka diam.
  • Mintalah atau ajaklah mereka untuk tarik napas.
  • Ucapkanlah hal yang tegas tetapi tetap lembut.
  • Ucapkanlah ucapan yang mengalir.
  • Setelah tenang, sejajarkanlah diri kita dengan anak. Tataplah matanya hingga ia fokus dengan apa yang akan kita sampaikan.
  • Nasihati dengan suara yang pertengahan. Tidak terlalu keras dan tidak terlalu rendah.

Biasakanlah agar anak berbicara dengan jelas tentang apa yang ingin mereka sampaikan dari hati mereka. Terutama jika hal ini terjadi pada anak-anak berusia TK.

Wallahu a’lam.

Dikutip dari kajian parenting kitab Rakaiz fii Tarbiyati Al Abna’ karya Syaikh Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin Al Abbad hafizhahullah.

Disampaikan oleh Ustadz Abu Ahmad Ricki Al Malanjiy dalam ruang Zoom pada hari Sabtu, tanggal 20 November 2021, pukul 16.00-17.00 WIB.

Diringkas oleh Ustadzah Ela (Pengajar dan wali kelas 1 SDTA Kuttab Rumah Qur’an)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Print Friendly, PDF & Email