Kajian Aqidah Pembahasan Kitab Ushul As Sunnah Imam Ahmad – Ustadz Abdullah Amin hafizhahullaah – Hukum Rajam

https://www.youtube.com/live/ZhpiPkMXaYQ?feature=share

Ahad, 13 Agustus 2023

Poin 59

و الرجم حق على من زنا و قد أحصن إذا اعترف أو قامت عليه بينة وقد رجم رسول الله صلى الله عليه و سلم و قد رجمت الأئمة الرشدون

Dan rajam adalah haqqun, sebuah kebenaran, bagi orang yang berzina, sementara orang yang berzina tersebut dalam keadaan muhshon (bersuami/beristri/pernah bersuami/janda/duda),

Definisi muhshon adalah seseorang yang sudah bersuami atau beristri, atau sudah pernah bersuami atau beristri yaitu duda atau janda.
Sedangkan yang bukan muhshon adalah yang belum pernah menikah. Maka jika berzina, hukumnya adalah rajam, apabila dia mengaku, tidak ada saksi, tidak ada orang yang menuduh, kemudian ia mengaku secara langsung bahwa ia telah berzina, atau ada tuduhan kepada orang tersebut kemudian dia mengakuinya, maka ini termasuk kategori dari idza’tarofa.
أو قامت عليه بينة
Atau tegak bukti bahwa si fulan telah berzina, maka ini salah satu yang mengharuskan orang tersebut di hukum rajam.

Bayyinah ada dua macam. Bukti-bukti misalnya wanita hamil di luar nikah, bukan seorang yang bersuami, atau janda, dan dia hamil, maka kemudian ia tidak ada yang memaksanya, maka ketika ia tidak dipaksa (tidak diperkosa) berarti dia telah berzina dengan bukti kehamilannya.
Bayyinah yang kedua, adanya saksi dengan syarat empat orang saksi laki-laki yang mengakui secara tegas melihat fulan telah berzina.
Jika keempat saksi mengenal fulan dan mempersaksikan fulan berzina, sedangkan hanya satu atau dua yang mempersaksikan fulanah berzina, di sini fulan terkena hukum rajam sedangkan fulanah tidak, dan demikian juga berlaku kebalikannya.

Dan yang disyaratkan adalah melihat dengan jelas, sebagaimana sabda Rasulullah sebagaimana ember masuk ke dalam sumur, atau mil masuk ke dalam celak. Jika hanya persaksian melihat masuk kamar, ini bukan termasuk kesaksian yang bisa diterima. Ini adalah beratnya kesaksian dalam kasus perzinaan.

Pembunuhan cukup hanya dua orang saksi. Persusuan hanya cukup satu orang wanita yang menjadi saksi.
Semisal ada dua wanita yang bersaudara karena sepersusuan, kemudian mereka dinikahi orang lelaki yang sama dan diketahui kemudian bahwa mereka bersaudara, maka pernikahannya secara otomatis fasakh atau rusak.

Kembali ke hukum rajam, apabila ada dua orang laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri, atau lelaki yang melakukan dengan wanita yang bukan budak, atau lelaki yang melakukan dengan wanita yang merupakan mahramnya, ini semua termasuk zina.

Maka rajam telah dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam, meskipun ayat yang turun tentang rajam telah dimansukh, namun hukum rajam tetap berlaku. Rajam termasuk bentuk ujian terhadap keimanan manusia, apakah mereka beriman dengan hukum rajam ini atau tidak.

Maka harus diyakini oleh kaum muslimin bahwa rajam berlaku sampai hari kiamat.

Dan imam yang empat telah melakukan hukum rajam ini.

Dan hukum rajam ini bukan hanya ada di dalam syariat rasulullah, tetapi juga ada dalam umat-umat sebelumnya. Hukum rajam juga ada di dalam Taurat, tetapi Bani Israil tidak menjalankan. Mereka menutupi hukum ini dan tidak menjalankannya.

Ujian yang ada di umat ini adalah ketika lafadz al Qur’an tentang rajam dan pernah dibaca sebagai ayat al Qur’an kemudian dimansukhkan lafazhnya, hukumnya tetap berlaku.

Sebagian sahabat masih menghafal dan bahkan masih membaca karena ketidaktahuan mereka bahwa ayat ini sudah dihapus dari bagian al Qur’an.

Disebutkan dalam riwayat Bukhari dan Muslim dari sahabat Ibnu Abbas menyebutkan Umar bin Khattab mengatakan pada saat duduk di atas mimbar rasulullah, sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad dengan kebenaran, dan mengutus beliau dengan kitab, dan salah satu yang diturunkan adalah ayat tentang rajam, kami pernah membacanya, kami pahami, kami mengetahui Rasulullah telah merajam, kami juga merajam, kami khawatir apabila lama zaman telah berlalu, kepada manusia akan ada yang mengatakan, mana kami tidak mendapati ayat rajam di dalam kitabullah. maka mereka tersesat dengan meninggalkan kewajiban yang diturunkan Allah dan sesungguhnya rajam di dalam kitabullah itu adalah haq, atas seorang yang berzina apabila ia mukhshon, apabila telah tegak bukti atau ada kehamilan, atau ada pengakuan.

Hadits dari Umar bin Khattab inilah yang diambil isinya oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam poin ini.

Keterangan tambahan:

Pezina yang pernah menikah (al-Muhshân) dihukum rajam (dilempar dengan batu) sampai mati. Hukuman ini berdasarkan al-Quran, hadits mutawatir dan ijma’ kaum muslimin[7]. Ayat yang menjelaskan tentang hukuman rajam dalam al-Quran meski telah dihapus lafadznya namun hukumnya masih tetap diberlakukan. Umar bin Khatthab Radhiyallahu anhu menjelaskan dalam khuthbahnya Radhiyallahu anhu :

إِنَّ اللهَ  أَنْزَلَ عَلَى نَبِيِّهِ الْقُرْآنَ وَكَانَ فِيْمَا أُنْزِلَ عَلَيْهِ آيَةُ الرَّجْمِ فَقَرَأْنَاهَا وَوَعَيْنَاهَا وَعَقَلْنَاهَا وَرَجَمَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ وَ أَخْشَى إِنْ طَالَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ أَنْ يَقُوْلُوْا : لاَ نَجِدُ الرَّجْمَ فِيْ كِتَابِ الله فَيَضِلُّوْا بِتَرْكِ فَرِيْضَةٍ أَنْزَلَهَا اللهُ وَ ِإِنَّ الرَّجْمَ حَقٌّ ثَابِتٌ فِيْ كِتَابِ اللهِ عَلَى مَنْ زَنَا إِذَا أَحْصَنَ إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَل أَوْ الإِعْتِرَاف.

Sesungguhnya Allah telah menurunkan al-Qur`an kepada NabiNya dan diantara yang diturunkan kepada beliau adalah ayat Rajam. Kami telah membaca, memahami dan mengetahui ayat itu. Nabi n telah melaksanakan hukuman rajam dan kamipun telah melaksanakannya setelah beliau. Aku khawatir apabila zaman telah berlalu lama, akan ada orang-orang yang  mengatakan: “Kami tidak mendapatkan hukuman rajam dalam kitab Allah!” sehingga mereka sesat lantaran meninggalkan kewajiban yang Allah Azza wa Jalla  telah turunkan. Sungguh (hukuman) rajam adalah benar dan ada dalam kitab Allah untuk orang yang berzina apabila telah pernah menikah (al-Muhshân), bila telah terbukti dengan pesaksian atau kehamilan atau pengakuan sendiri.[8]
Referensi : https://almanhaj.or.id/26941-hukuman-untuk-pezina-2.html#_ftn11

Banyak di antara kelompok yang sesat tidak mengakui rajam karena tidak ada di dalam Al Qur’an dan mereka tidak bersandar kepada hadits Rasulullah.
Mereka tidak mengetahui bahwa hadits yang demikian banyak menjelaskan hukum rajam telah dilaksanakan oleh para imam yaitu khulafaur rasyidin dan imam setelah mereka, hingga sekarang.

Dan sesungguhnya Rasulullah telah memperingatkan tentang kemunculan kelompok ini. Kelompok yang mengatakan “Datangkan ayat al Qur’an kepadaku.”

Ali bin Abi Thalib disebutkan dalam hadits yang shahih telah merajam seorang wanita dalam hari Jumat, dan beliau mengatakan, “Aku rajam dengan sunnah Rasulullah.”

Beliau mengatakan seperti ini karena sudah tidak ada lagi lafadz di dalam Al Qur’an sehingga hukum rajam disandarkan kepada sunnah Rasulullah. Sedangkan setelah al Qur’an, sumber hukum yang tidak bisa ditinggalkan adalah sunnah Rasulullah. sunnah itu mengiringi al Qur’an.

Inilah yang banyak di zaman ini, sebagian ustadz mengingkari adanya rajam atau hukum rajam di dalam al Qur’an karena menganggap jika tidak ada dalam al Qur’an maka itu sesuatu yang tidak berlaku. ini kesesatan yang terdapat dalam sebagian kelompok.

Pembahasan selanjutnya adalah pembahasan ke-60 dan merupakan pembahasan yang panjang.

Sebuah pelajaran:
Hari ini ustadzuna memberikan kajian dalam perjalanan sambil berhenti di rest area. Maka tidak layak dan bukan suatu adab jika kita tidak meluangkan waktu untuk menghadiri majelis yang beliau sempatkan untuk menghadirkannya.

Pertanyaan:
Untuk hukum rajam di Indonesia tidak ada, dan jika ada kasus fulan dengan fulanah berbuat zina, kemudian dihukum sesuai dengan hukum yang ada di Indonesia, apakah ini bisa menjadi penghapus dosanya?

Tentang pelaksanaan hukum rajam, yang berhak adalah pemerintah atau penguasa. Tidak ada hak bagi rakyat untuk melakukan rajam sendiri, bahkan jika ia adalah seorang kepala daerah atau misalnya tingkat paling bawah pak lurah misalnya. Tidak punya kewenangan melakukan rajam kecuali diberi hak oleh penguasa. Kecuali jika penguasa memberikan hak otonomi pada daerah tertentu untuk melaksanakan hukum islam.

Yang demikian ini, baik orang ini ditegakkan hukum rajam atau tidak, selama orang tersebut bertaubat, maka diterima taubatnya.

Dan tidak ada kewajiban dia merajam dirinya sendiri atau menyuruh keluarganya untuk merajam dirinya. Tidak ada penegakan hukum rajam secara pribadi, tidak ada kewenangan baginya dan tidak diperbolehkan. Yang wajib adalah ia bertaubat, baik baginya ditegakkan hukum ataukah tidak.

Seandainya seseorang mendapatkan hukum rajam atau hukum cambuk jika ia bukan mukhshon tetapi ia tidak bertaubat, maka ia tetap terancam dengan ancaman siksa neraka.

Ini berlaku untuk semua hukum, baik rajam, cambuk, qishah, dan semisalnya, ini semuanya adalah hak bagi penguasa.

Ada juga hukum yang tidak ada dalam syariat, ini diserahkan kepada hakim, yang bisa memutuskan hukumannya misalnya penjara sekian bulan. Misal mencuri tidak sampai nishab. Ini diserahkan kepada ijtihad hakim.

Ini berlaku misalnya bagi orang-orang yang membuat dan mengedarkan narkoba, melakukan sesuatu yang merusak umat, hukuman yang diberikan diserahkan kepada penguasa.

Kesimpulan:
Alhamdulillah kita telah membahas salah satu bagian dari i’tiqod ahlus sunnah wal jama’ah yang disebutkan imam Ahmad bin Hanbal.
Meskipun ini adalah masalah fikih, akan tetapi ada unsur akidahnya terkait dengan keimanan nasikh dan mansukh terhadap hukum rajam yang wajib diyakini sebagai hukum Allah yang berlaku sampai hari kiamat dan keyakinan bahwa hukum rajam tidak ada adalah keyakinan yang sesat dan bisa mengeluarkan seseorang dari keislaman.

Bagaimana kita mengamalkan hukum rajam ini? Kita yakini bahwa hukum ini ada dan berlaku sampai hari kiamat. Keyakinan adalah bagian dari amal sholih.

Amal tidak hanya amal anggota tubuh tetapi juga keyakinan di dalam hati. Ini bagian dari amal, bagian dari iman kepada Allah.

Ditulis oleh: Yusant Ummu Syifa, wali kelas 6 SDTA Kuttab Rumah Qur’an

Scroll to Top