Sebuah siang di bulan November.

Di SDTA Kuttab Rumah Qur’an yang kini berlantai tiga, kelas Bahasa Arab dimulai. Anak-anak kelas empat naik ke lantai paling atas sambil bercanda.

Kelas empat SDTA Kuttab Rumah Qur’an hanya memiliki enam orang santri. Satu banat dan lima banin. Hari itu –qaddarullah– satu orang tidak masuk karena sakit, dan seorang lagi izin karena sedang mengalami musibah—kehilangan salah satu anggota keluarga terdekat.

Biasanya, santri akan membawa serta sandal atau sepatu mereka jika ingin ke lantai tiga. Anak tangga yang menghubungkan lantai dua dan lantai tiga memang belum dipasang keramik. Serpihan semen dan debu bakal menempel di kaos kaki kalau kita tak memakai sepatu atau sandal.

Sekalipun tahu soal itu, nyatanya keempat banin yang hadir kompak tak beralas kaki. Sambil jalan berjinjit, mereka cepat-cepat naik ke gazebo terdekat.

Pelajaran Durusul Lughoh disambut dengan antusias. Pasalnya, whiteboard hanya ada di gazebo sebelah. Lantai masih digenangi air sisa hujan kemarin, dan pengajar bahasa Arab memutuskan untuk tetap di gazebo yang mereka tempati agar kaos kaki mereka tidak basah. Buku dimasukkan, dan tanya jawab dilakukan secara lisan.

Pelajaran Durusul Lughoh disambung dengan hafalan adab santri Kuttab Rumah Qur’an. Satu per satu menyetorkan hafalan. Ada yang menyetorkan dua bab sekaligus, ada juga yang hanya setoran satu bab.

Waktu untuk sholat Zhuhur masih dua puluh menit lagi. Pelajaran adab sudah diakhiri. Doa kafaratul majelis sudah selesai dibaca. Entah siapa yang memulai, mereka berempat sudah turun dari gazebo.

Salah satunya sibuk memberi petunjuk. Ia mau tangga kayu yang tersandar di dinding lantai tiga diletakkan sejajar dengan lantai.

“Agak sinikan! Sini, lho! Lho, kok malah ke sana! Bukan gituuu.” Begitulah ia terus memberi komando. Ketika yang dilaksanakan tak sesuai keinginan, akhirnya ia turun tangan langsung memindahkan tangga sambil menggerutu, “Gini lho. Masa nggak bisa.”

“Naaah, kalau gini kan bisa pindah ke gazebo sebelah. Kaos kakinya nggak basah.” Matanya berbinar, barangkali bangga karena sudah melakukan sesuatu yang berguna.

Berempat, bocah-bocah itu berbaris melangkah di atas sisi tangga yang sudah tergeletak di tengah genangan air. Mereka sibuk memperbaiki ‘arsitektur’ jembatan daruratnya.

Saringan pasir ikut diletakkan di lantai, supaya mereka tidak harus melompat dari gazebo ke tangga panjang. Cukup melangkah saja. Untuk tambahan jembatan di bagian dekat gazebo sebelah, yang lebih jauh dari anak tangga penghubung lantai dua dan lantai tiga, mereka memindahkan beberapa bata ringan sebagai pijakan.

Celoteh sang komandan sungguh membuat geli, “Nah, ini bisa bikin begini perlu IQ tinggi ini.”

MasyaAllah. Semoga mereka tumbuh menjadi pemuda-pemuda yang sigap membaca situasi dan tanggap memberikan manfaat semaksimal yang mereka mampu.

Setelah jembatan jadi, apa yang mereka lakukan? Namanya juga anak-anak. Setelah bosan berjalan menyusuri ‘jembatan’, tentu saja, mereka turun ke tengah genangan air. Sang komandan sibuk menyapu air yang menggenang di tengah-tengah sambil terus bertanya, kenapa sih airnya kok selalu kembali lagi? Kan nggak kering-kering jadinya!

Ditulis oleh Ustadzah Yusant (Pengajar dan wali kelas 5-6 SDTA Kuttab Rumah Qur’an)

Print Friendly, PDF & Email