Artikel

Kajian Aqidah Ushulus Sunnah, Uncategorized

Poin 60: Sikap yang benar kepada para sahabat Rasulullah ﷺ bagian kedua

Catatan Kajian Aqidah Pembahasan Kitab Ushul as Sunnah karya Imam Ahmad bin Hanbal Poin 60: Sikap yang benar kepada para sahabat Rasulullah ﷺ bagian kedua Link https://www.youtube.com/live/p8gAevCt_zM?feature=shared Di antara ciri-ciri ahlul bid’ah adalah celaan mereka kepada sahabat Rasulullah ﷺ dan telah dinukil dari beberapa ulama perkataan mereka tentang kaum Syiah Rafidhah dan yang lebih dari mereka, dan yang sekarang ini dan yang sekarang berkembang di dunia adalah Syiah dari kaum Rafidah ini (itsna asyariyyah sokhowiyyah)  dan mereka ini kaum yang telah disebutkan oleh para ulama sejak zaman para salaf. Munculnya atau awal kemunculan mereka adalah di masa itu. Dan menjadi salah satu fitnah terbesar di kalangan kaum muslimin dengan kemunculan mereka yang diawali salah satunya adalah oleh seorang yang bernama Abdullah bin Saba yang asalnya adalah seorang Yahudi. Dan sudah disebutkan perkataan dari Imam Syafii rahimahullaah, “Saya tidak pernah melihat ada kelompok ahlul ahwa, satu kaum yang lebih banyak melakukan persaksian palsu atau lebih palsu persaksiannya daripada kaum Rafidhah.” Dan yang sekarang berkembang di berbagai belahan dunia ini dan mereka menyusup ke berbagai negeri kaum muslimin dan juga negeri-negeri kuffar dan mereka berusaha memasukkan ajaran mereka ini dengan berbagai macam cara mereka ke dalam kaum muslimin. Syiah secara umum dan secara keseluruhan yang disebutkan para ulama, syiah yang paling ringan saat ini bisa dikatakan hampir punah termasuk kelompok yang disebut zaidiyyah yang hanya berkembang di negeri Yaman dan itu terbatas di beberapa tempat. Di ibukotanya di kota San’ah. Hanya sebatas orang-orang yang sudah sepuh dan mereka punya ciri yang sangat kentara dari pakaian dan cara sholat mereka. Dengan inilah mereka mudah dikenali. Tetapi generasi muda kaum Syiah, arah pemahaman mereka adalah pemahaman kaum Rafidhah. Dan mereka aktif dalam mengajarkan dan menyebarkan ajaran mereka. Dinukil di antaranya dari para ulama tentang berbahayanya kelompok ini apabila memasuki suatu kaum. Dalam sejarah sangat banyak kejadian yang menunjukkan pengkhianatan mereka terhadap kaum muslimin, mereka bekerja sama dengan kaum kuffar untuk menghancurkan kaum muslimin, termasuk di antaranya bekerja sama dengan Mongol. Seandainya kita bisa menyatakan kelompok munafik yang sekarang ini ada di antara kaum muslimin, maka mereka adalah contoh paling konkrit. Mereka ini yang paling pantas dan paling banyak. Mereka mengajarkan taqiyyah yang menjadi salah satu prinsip aqidah dasar mereka, bahkan mereka tidak mengakui kesyiahan seseorang hingga ia melakukan taqiyyah. Dan ini yang terjadi pada mereka hingga saat ini. Diriwayatkan dari As Sya’bi, “Wahai Malik (Malik bin Mihwal), seandainya saya mau mereka menyerahkan diri mereka sebagai seorang hamba sahaya kepadaku, atau seandainya mereka memenuhi rumahku dengan emas, supaya mereka ingin saya berdusta untuk mereka, untuk membuat hadits-hadits palsu tentang Ali, tentu mereka akan melakukannya. Akan tetapi demi Allah saya tidak akan berdusta terhadap Ali sama sekali. “Wahai Malik, sesungguhnya saya telah mempelajari seluruh kelompok ahlul bid’ah. Saya tidak melihat suatu kaum yang lebih tolol atau bodoh yang sangat, daripada Khosya’iyyah (salah satu kelompok kaum Rafidhah). Seandainya mereka itu diumpamakan sebagai binatang, maka binatang yang paling tepat menggambarkan mereka adalah keledai (keledai adalah simbol dalam bahasa Arab untuk kedunguan, kepengecutan, kelemahan, kelambanan, dan keburukan yang lain seperti suara yang jelek). Dan seandainya diumpamakan mereka itu adalah burung, maka mereka adalah rokhom (sejenis burung yang dikenal makanannya suka yang busuk-busuk, hinggapnya di sampah-sampah, comberan, bahkan kotoran manusia. Jika ada bau maka mereka akan hinggap di situ. Burung ini juga dikenal dengan sifat pengkhianatannya.) “Aku peringatkan kepadamu wahai Malik, berbagai kelompok ahlul bid’ah yang menyesatkan, dan yang paling berbahaya adalah Rafidhah, dan itu karena di antara mereka ada kaum Yahudi. Mereka itu memasuki Islam menyelam ke dalam kaum muslimin untuk menghidupkan kesesatan mereka sebagaimana Paulus bin Syaul (asalnya seorang Yahudi) dia memasuki Nasrani dan merusak agama Nasrani. (Maka Abdullah bin Saba yang masuk ke dalam tubuh kaum muslimin dan menyebarkan racunnya). Tidaklah mereka masuk ke dalam Islam itu karena keinginan atau cinta dengan Islam, bukan karena takut kepada Allah, mereka masuk Islam karena bencinya kepada Islam dan ingin mencelakakan kaum muslimin, maka Ali bin Abi Thalib membakar mereka dengan api dan mengusir mereka dan di antara mereka adalah Abdullah bin Saba, Abdullah bin Syabab, dan Abul Kurusy dan anaknya.” Demikianlah ghuluw mereka kepada Ali. Mereka siap membuat hadits-hadits palsu atas nama nabi. Riwayat ini disebutkan Ibnu Katsir dalam An Nihayah. Tanda-tanda kaum Rafidhah ini sangat kuat, terutama yang sekarang ini berkembang di Iran. Di Iran ada pusat kaum Yahudi terbesar, selain yang ada di Israel yang sesungguhnya selayaknya Israel ini kita sebut Yahudi, karena Israel ini adalah penisbatan kepada nama nabi Allah yaitu Ya’qub ‘alayhis salam. Rasulullah menyebutkan bahwa Dajjal nanti akan muncul dari bangsa Asbahan. يَتْبَعُ الدَّجَّالَ مِنْ يَهُوْدِ أَصْبَهَانَ سَبْعُوْنَ أَلْفًا عَلَيْهِمْ الطَّيَّالِسَةُ Akan mengikuti Dajjal tujuh puluh ribu Yahudi Ashbahan, mereka mengenakan jubah (HR. Muslim) Ada banyak kesamaan antara Yahudi dengan Rafidhah. Mereka mengatakan, “Tidak layak kekuasaan atau kerajaan kecuali hanya pada keluarga Daud (Nabi Sulaiman ‘alayhis salam).” Sehingga mereka ingin kembali membangun Kuil Sulaiman dengan meruntuhkan Baitul Maqdis. Ini angan-angan mereka tetapi tidak akan terjadi hal ini. Rafidhah mengatakan, “Tidak boleh menjadi pemimpin kecuali pada keluarga Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu.” Kaum Yahudi mengatakan, “Tidak ada jihad.” Sedangkan jihad disyariatkan pada Nabi Musa. قَا لُوْا يٰمُوْسٰۤى اِنَّا لَنْ نَّدْخُلَهَاۤ اَبَدًا مَّا دَا مُوْا فِيْهَا فَا ذْهَبْ اَنْتَ وَرَبُّكَ فَقَا تِلَاۤ اِنَّا هٰهُنَا قَا عِدُوْنَ “Mereka berkata, “Wahai Musa! Sampai kapan pun kami tidak akan memasukinya selama mereka masih ada di dalamnya, karena itu pergilah engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu berdua. Biarlah kami tetap (menanti) di sini saja.”” (QS. Al-Ma’idah 5: Ayat 24) Itu jawaban mereka ketika diajak untuk berjihad. Ini adalah perkataan mereka sampai turunnya Dajjal atau turunnya Nabi Isa. Yang mereka maksud adalah tidak ada jihad kecuali sampai mereka bersama Dajjal. Itulah yang nanti akan terjadi, kaum Yahudi akan berperang bersama Dajjal melawan kaum muslimin. Dan rasulullah ﷺ telah mengabarkan bahwa kemenangan akan ada pada kaum muslimin. Rafidhah mengatakan, “Tidak ada jihad hingga keluar al mahdi.” Kaum Yahudi mengakhirkan shalat Maghrib yang sudah ada dalam syariat nabi Musa dan juga disebut sebagai shalat maghrib, tetapi mereka tidak menjalankan, bahkan mengakhirkan shalat Maghrib sampai muncul bintang-bintang di langit setelah atau ketika

Fiqih dan Ushul Fiqih

Kajian Fiqih Muyassar – Ustadz Said Yai Ardiansyah, Lc., M.A. – Pertemuan 3

https://www.youtube.com/live/6XtKPUjSMIY?feature=share Pembahasan Ke-3: Air apabila bercampur dengan najasah (najis) Apabila bercampur dengan najis, kemudian najis itu mengubah salah satu sifat air yang tiga -baik itu bau, rasa, atau warnanya- maka ia hukumnya najis sesuai dengan kesepakatan para ulama, tidak boleh menggunakannya, ia tidak bisa mengangkat hadats dan menghilangkan khobats, baik (air) itu banyak atau pun sedikit. Ada pun jika tercampur dengan najis dan dia tidak mengubah salah satu dari sifat air tersebut, apabila air itu banyak, maka air itu tidak najis dan bisa bersih dengannya. Ada pun jika ia sedikit, maka ia najis dan tidak bisa bersuci dengannya. Dan yang dimaksud batasan air disebut air yang banyak, adalah apa yang sampai dua qullah atau lebih, dan ada pun air yang sedikit yaitu yang dibawah dua qullah. Dan dalil akan hal tersebut, disebutkan hadits Abu Said al Khudri ia berkata, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya air itu thohuur (bersih) tidak ada yang menajiskannya.” Dan hadits Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhumaa bahwa Rasulullah bersabda, “Apabila air itu mencapai dua qullah maka tidak mengandung najis.” Pembahasan: Apabila najis bercampur dengan air: apakah semua tidak bisa digunakan untuk bersuci atau ada perincian di dalamnya? Ada perinciannya.Apabila ada najis bercampur dengan air mutlak atau air yang suci, kemudian air tersebut berubah salah satu sifatnya, maka ia menjadi najis. Ada dalil yang digunakan para ulama tetapi para ulama sepakat hadits itu lemah: “Air itu suci tidak ada yang membuatnya menjadi najis kecuali apa yang mengubah warnanya, rasanya, dan juga baunya.” Maka sepakat ulama bila air berubah sifatnya, maka ia menjadi najis. Misalnya air yang bau bangkai, karena ada hewan yang mati masuk di dalamnya, sedangkan bangkai itu najis, dan ketika bangkai sudah diangkat tetapi masih tercium bau bangkainya, maka air tersebut masih najis. Andai kita tidak mencium baunya tetapi ketika dirasakan dengan lidah masih ada rasa najis di lidah kita, maka air tersebut najis dan belum suci. Bila ada kolam atau wadah, ember, baskom, dan sebagainya, kemudian ada kotoran hewan yang tidak dimakan dagingnya dan mengubah warna air tersebut, maka air itu najis. Dan ini ijma ulama akan hal ini, walau yang digunakan adalah hadits yang lemah, akan tetapi matan/isinya disepakati para fuqaha untuk diamalkan isinya. Jadi andai tidak ada hadits ini, masih ada ijma para ulama. Air seperti ini tidak dapat digunakan untuk bersuci, tidak bisa digunakan untuk berwudhu, mandi, ataupun menghilangkan najis di badan kita. Misal kita terkena kotoran hewan yang masih basah, tidak bisa kita bersihkan dengan air najis, walau air tersebut membuat najis di badan kita hilang, tetapi hakikatnya ini tidak menghilangkan najis, malah membuatnya menyebar. Kesepakatan ulama: Ulama berselisih pendapat tentang air yang dikategorikan sedikit, bila dia terkena najis, apakah air tersebut bisa digunakan bersuci atau tidak jika sifatnya tidak berubah?Disebutkan di dalam buku ini, banyak adalah apa yang mencapai dua qullah.Yang namanya sedikit, adalah yang di bawah dua qullah. Berapa satu qullah itu?Disebutkan di dalam buku ini dalam catatan kaki, qullah adalah jurrah, dan dia mendekati 93,75 per seratus sha, atau 160,5 liter air.Dua qullah berarti 321 liter. Terjadi perselisihan pendapat mengenai berapa liter qullah itu, karena ukuran di zaman dulu tidak ada ukuran baku. Berbeda dengan zaman sekarang menggunakan meter, liter, dan semisalnya, sedangkan ukuran zaman dahulu menggunakan hasta, jengkal, dan merupakan ukuran yang tidak pasti. Misalnya satu hasta, dari ujung jari tengah hingga siku, ada yang mengatakan itu 40 cm, ada yang mengatakan 45 cm, dan seterusnya. Hal ini karena ukuran tangan manusia pun berbeda-beda. Begitu juga dengan ukuran qullah.Ada yang mengatakan dua qullah adalah 307 liter.Ada juga yang mengatakan 290 sekian.Jadi, dua qullah sekitar 300 liter. Di dalam madzhab imam Syafi’i dan imam Ahmad, disebutkan bahwa air yang sedikit adalah air yang di bawah dua qullah. Dalil dari hadits Rasulullah, apabila air mencapai dua qullah, maka ia tidak mengandung najis. Para ulama menggunakan pemahaman dari isi hadits, jika air mencapai dua qullah maka tidak mengandung najis, maka mafhum mukholafahnya, jika air kurang dari dua qullah, jika ia terkena najis, ia akan menjadi najis. Ini menjadi permasalahan tersendiri karena ada hadits, “Sesungguhnya air itu suci tidak ada yang membuatnya menjadi najis.” Ini menunjukkan adanya hukum air secara mutlak. Selama ia tidak berubah sifatnya, maka ia tetap menjadi air yang suci. Di sini kita katakan, ada perselisihan di kalangan ulama.Pendapat yang kuat dalam hal ini adalah pendapat yang mengatakan bahwa air tersebut tetap dalam keadaan suci apabila terkena najis yang ringan dan tidak ada mafhum dalam jumlah dua qullah ini. Maka ulama mengatakan jika air mencapai dua qullah tidak bisa menajiskannya, hal ini tidak menjadikan atau mengharuskan air yang sedikit menjadi najis, karena bisa jadi ada opsi lain. Kemungkinan 1Bila air sedikit terkena najis yang tidak mengubah sifatnya, ia akan najis Kemungkinan 2Bila air sedikit terkena najis yang tidak mengubah sifatnya, ia tidak najis Dan pendapat yang lebih kuat dari hal ini adalah kemungkinan yang kedua. Memang yang lebih berhati-hati adalah menganggap air yang sedikit terkena najis walau tidak berubah sifatnya, maka air tersebut najis. Ada keringanan kepada umat ini, Allah tidak jadikan di dalam agama ini kesulitan. Sedangkan banyak sekali kita dapatkan air yang di bawah dua qullah terkena kotoran cicak atau terkena sedikit percikan dari air seni, kemudian semuanya tidak digunakan. Maka yang seperti ini, ya ikhwan, dalam penerapannya akan menyusahkan. Yang lebih baik adalah mengambil pendapat yang lebih kuat dan lebih meringankan bagi umat ini. Selanjutnya, yang mengatakan dua qullah, juga terdapat perbedaan antara penafsiran ukurannya. Ini adalah ukuran yang sangat sulit ditakar oleh kaum muslimin.Ketika kita melihat bak, kemudian kita jadi bertanya ini sudah 300 liter atau belum. Begitu pula bila ada kolam kecil. Ini menyulitkan untuk menghitungnya. Perhatikan kaidah “agama Islam adalah mudah”. Karena itu kita kembali pada dalil: sesungguhnya air itu suci tidak ada yang bisa menajiskanya Permasalahan 4: Air bila bercampur dengan benda yang suci Air apabila bercampur dengan bahan yang suci seperti daun-daun pohon, atau sabun, atau bahan cair, atau bercampur dengan sidr, atau benda lain yang termasuk bahan suci, dan benda suci tersebut tidak mengalahkan sifat air tersebut, maka menurut pendapat yang kuat, dia itu suci, boleh bersuci dengannya, baik untuk menghilangkan

Fiqih dan Ushul Fiqih, Uncategorized

Catatan Kajian Fikih Muyassar Bab Hukum Thoharoh – Ustadz Said Yai Ardiansyah, M.A.

Link Kajian https://youtu.be/CZlHZpjwMig Ada dua hal yang menghalangi kita dari sholat yaitu najis dan hadats. Hadats adalah sifat di badan yang menunjukkan dia itu kotor sehingga terhalangi untuk melakukan sholat. Hadats ada dua. Hadats asghor contohnya buang air, buang angin, tidur. Dan ketika seseorang berhadats kecil maka dia harus berwudhu.Yang kedua adalah janabah, berhadats besar, misalnya bermimpi dan keluar cairan, maka dia wajib untuk mandi.Atau misal seseorang berhubungan badan dengan istri atau dengan budaknya, maka dia berhadas besar dan dihilangkan hadas itu dengan mandi. Mandi dan wudhu harus menggunakan niat.Apabila tidak bisa dilakukan mandi dan wudhu karena tidak mendapatkan air atau karena tidak memungkinkan menggunakan air, maka dengan tayammum sebagai pengganti wudhu dan atau mandi. Sedangkan najis atau al khobats, ini sesuatu yang bisa dilihat atau dideteksi, misalnya dengan bau walau tidak ada warnanya, atau dideteksi dengan warnanya, atau dideteksi dengan rasa.Najis ini harus dihilangkan atau suci baik dari badan, pakaian, atau pun tempat sholat. Untuk bersuci menghilangkan hadats maka disepakati dengan air alias H2O. Tidak sah wudhu atau mandi kecuali dengan air.Ada pun cairan cairan yang lain yang bukan air seperti bensin atau selainnya, maka tidak boleh dipakai untuk bersuci. Begitu juga sirup sirup, atau air kelapa, air tebu, dan semisalnya. Di sini ada perselisihan pendapat tentang membersihkan najis dengan selain air.Para masyaikh lebih condong pada harus menggunakan air.Allahu a’lam, ada pendapat lain yaitu untuk najis tidak disyaratkan harus hilang dengan menggunakan air. Yang penting dzatnya hilang dengan berbagai cara, maka itu cukup untuk menghilangkan najis tersebut. Pendapat yang kuat di dalam hal ini, dalam menghilangkan najis tidak disyaratkan niat. Contohnya seorang mandi hujan, dia tidak berniat, ketika dia menghilangkan air kencing di badannya, misalnya, maka di sini dia sudah bersih dari najis.Yang penting adalah hilangnya najis tersebut dan bersih tidak ada warna bau dan rasanya lagi.Allahu a’lam bisshowab.Dan di sini ada kelapangan dalam hal ini. Tanya Jawab: 18 Muharram 1445 H Yusant Ummu Syifa – Wali Kelas 6 SDTA Kuttab Rumah Qur’an

Parenting Islam

Ngobrol Parenting Islam

Kesalahan itu bersumber dari hal yang sangat beragam. Jika kita ingin memperbaiki kesalahan, maka pahamilah sumber yang merupakan akar masalah. Di antara kesalahan adalah bersumber dari karakter alami yang telah dibiasakan sejak kecil. Jika kesalahan itu karena kebiasaan yang telah menjadi karakter alami, maka pahami bahwa usaha memperbaiki butuh kesabaran ekstra. Ikuti kajian menarik di sore ini, InsyaAllah Ayah Bundabersikaplah yang wajar tatkala menemui kesalahan karena bersumber dari karakter alami seseorang. Kajian Parenting 15 Juli 2023 Kehebatan Ulama Syanqith Dalam Hafalan Ilmu Karena Berasal Kebiasaan Menghafal Ketika Kecil Syaikh Muhammad Ibnu ‘Allamah Abdullah Ibnu Al Haj Ibrahim Al ‘Alwiy (wafat 1250 H) mengatakan, Jikalau ilmu ilmu dalam madzhab fiqih yang empat beserta kitab rujukannya semuanya dilempar ke lautan hingga hancur, maka aku dan muridku bisa menghadirkan kembali dengan sempurna tanpa penambahan dan pengurangan. Muridku memegang hafalan matannya sedangkan aku memegang penjelasannya. Ucapan ini diucapkan oleh putra Syaikh Muhammad Mukhtar Al Syanqithi yang sekarang jadi ulama yaitu Syaikh Mahmud bin Muhammad Mukhtar Al Syanqith. Inilah mengapa thobi’ah (karakter alami) sangat ditentukan dengan kebiasaan di masa kecil terutama sebelum baligh. Kita harus upayakan maksimal membiasakan anak dengan banyak kebiasaan baik dengan cara yang sesuai usia dan zaman mereka berada. Ikuti kajian menarik tentang ini di sore nanti, insyaAllah Sebarluaskan semoga banyak yang dapat manfaat dengan perantara anda menunjukkan kebaikan.

Artikel, Parenting Islam

Sebelum Menasihati dan Memperbaiki Kesalahan Orang Lain, Perhatikan Dirimu

Saudaraku, perhatikanlah hatimu tatkala kamu ingin mengoreksi kesalahan seseorang. Apakah itu bersumber dari rasa sayangmu sebagai sesama muslim melihat saudaranya sedang terjatuh pada kesalahan dan bahaya dan ingin menyelamatkannya? Ataukah itu bersumber dari emosi sesaat dan ambisimu yang ingin menjatuhkan kedudukan saudaramu, ingin menunjukkan bahwa dirimu yang benar sedang lawanmu yang salah, dan meninggikan derajatmu di hadapan manusia? Saudaraku, lebih mudah kita melihat kesalahan orang lain dan menyalahkannya daripada melihat kesalahan diri kita. Tatkala kita diminta menyebutkan kesalahan orang di sekitar, kita maka kita mampu menyebutkan dengan banyak, sedang ketika kita diminta menyebutkan kelemahan diri dan kesalahan kita, maka kita tidak bisa menyebutkannya. Semoga Allah melindungi kita dari ketidak ikhlasan ketika memperbaiki kesalahan orang lain. Sebelum anda ingin memperbaiki kesalahan, maka ada hal penting yang harus anda perhatikan, sebagaimana penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih al Munajjid dalam buku beliau, al Asalib an Nabawiyyah fi Ta’amul Ma’a Akhto’i an Naas: Ikhlas melakukan perbaikan karena Allah Kesalahan adalah merupakan karakter asli manusia Hendaknya proses menyalahkan sesuatu dibangun di atas dalil syar’i dan disertai dengan bayyinah (fakta di lapangan) dan bukan karena ketidak tahuan atau hal berubah-ubah. Ketika kesalahan itu adalah kesalahan yang besar, maka perbaikan untuk memperbaikinya lebih kuat Perhatikan kedudukan orang yang hendak diperbaiki kesalahannya Membedakan antara orang yang salah karena ketidaktahuan dengan orang yang sengaja berbuat salah tatkala ia tahu perbuatan tersebut salah Membedakan kesalahan yang disebabkan ijtihad dan kesalahan karena niat melakukan kesalahan, kelalaian,dan meremehkan. Niat baik seseorang yang melakukan kesalahan tidak menghalangi kita mengingkari kesalahan tersebut. Adil dan tidak pilih kasih ketika memberikan peringatan pada kesalahan Waspada dari memperbaiki sebuah kesalahan yang berakibat terjadinya kesalahan lain yang lebih besar Mengetahui kesalahan yang muncul dari watak asli seseorang Membedakan kesalahan dari melanggar syariat atau melanggar hak pribadi seseorang Membedakan antara kesalahan besar dan kesalahan kecil, karena syariat membedakan antara dosa besar dan dosa kecil Membedakan antara kesalahan yang berulang dan kesalahan pertama kali Membedakan antara kesalahan yang terjadi berturut-turut dan kesalahan yang terjadi berulang dengan jarak yang berjauhan Membedakan orang menyebarkan sebuah kesalahan dan yang menutupi sebuah kesalahan Perhatian dengan orang yang agamanya masih lemah dan membutuhkan untuk melembutkan hatinya Memperhatikan kedudukan dan kekuasaan dari orang yang melakukan kesalahan Mengingkari kemungkaran pada anak-anak yang melakukan kesalahan Menghindari mengingkari wanita-wanita ajnabiyyah Tidak sibuk dengan memperbaiki akibat kesalahan dan meninggalkan pengobatan pada inti kesalahan dan sebabnya Tidak memperbesar kesalahan dan berlebihan mengungkapkannya Meninggalkan membebani dan sewenang-wenang menisbahkan seseorang dengan kesalahan serta menjauhi memaksa pengakuan dari orang yang salah terhadap kesalahannya. Memberikan waktu yang cukup dalam memperbaiki kesalahan khususnya bagi orang yang telah terbiasa melakukan kesalahan dalam waktu yang lama dari umurnya. Ini harus diikuti dengan terus menerus memberi peringatan dan perbaikan. Menjauhi menjadikan orang yang bersalah merasa dimusuhi dan lebih memperhatikan pencapaian seseorang lebih penting dari posisinya Ditulis oleh Abu Ahmad Ricki Al Malanjiy Malang, Rumah Kontrakan Grandsuroso, 8 Oktober 2022

Scroll to Top