Kajian Kitab Asrarul Muhibbin fii Ramadhan

Kajian Kitab Asrarul Muhibbin fii Ramadhan

Menggapai Cita dengan Semangat Tinggi dan Niat yang Benar

Bulan Ramadhan segera datang bertamu kepada kita dan akan pergi dengan cepat. Hendaknya kita menyiapkan ilmu dan hati kita. Apakah kita sudah memiliki amalan rahasia di sisi Allah? Ketahuilah, bahwa hal tersulit bagi orang-orang yang takut kepada Allah adalah berbuat ikhlas, yaitu menjadikan niat beramal kita hanya untuk Allah semata. Selain itu, ketahuilah bahwa puncak kenikmatan di dunia ini adalah tatkala Allah menjadikan kita mampu melakukan ketaatan kepada-Nya. Milyaran orang tidak merasakan kenikmatan ini. Akan tetapi kita bisa merasakannya dengan melakukan berbagai bentuk ibadah. Berpindah dari satu ibadah ke ibadah yang lain sesuai dengan keutamaannya. Kita juga harus memiliki cita-cita yang tinggi. Seperti masuk surga berdampingan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, melihat wajah Allah Ta’ala, masuk surga tertinggi, dll.   Lalu, bagaimana cara meraih sebab agar Allah menjadikan kita mampu melakukan ketaatan? Ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya bisa kita dapatkan karena rahmat (kasih sayang) Allah Ta’ala. Kita hanya bisa mengusahakan sebab agar rahmat Allah Ta’ala turun kepada kita. Ibnul Qayyim Al Jauziyyah berkata, “Cita-cita (harapan) yang tinggi akan tercapai dengan semangat yang tinggi dan niat yang benar. Barangsiapa yang kehilangan keduanya, maka ia akan terhalang untuk menggapainya. Jika semangat itu tinggi, maka ia akan selalu terhubung dengan cita-citanya saja dan mengesampingkan yang selainnya. Jika niat itu benar, maka seorang hamba akan meniti jalan yang mampu menyampaikan kepada cita-citanya tersebut. Niat yang benar akan memfokuskan jalan untuk mencapai cita-cita. Sedangkan semangat akan memfokuskan kita pada cita-cita yang dicari. Jika cita-cita yang dicari dan jalan untuk mencapai cita-cita tersebut menjadi satu kesatuan, maka pada umumnya cita-cita tersebut akan tercapai.  Jika semangat itu rendah, maka ia akan terhubung dengan sesuatu yang rendah dan tidak terikat dengan cita-cita (harapan) tinggi. Sedangkan jika niatnya tidak benar, maka jalan yang ia tempuh bukanlah jalan yang bisa menyampaikan pada cita-cita tersebut.” Contoh dalam permasalahan ini di antaranya orang yang memahami akhirat. Cita-citanya hanya berkaitan dengan akhirat seperti masuk surga paling tinggi. Maka, ia akan pelit dengan waktunya dan hanya ia gunakan untuk sesuatu yang dapat menyelamatkannya dari neraka dan bisa meraih surga yang tinggi. Saat ada hal mubah yang menggoda, maka ia akan menolak dan memilih sesuatu yang bisa mendekatkan diri kepada cita-citanya yang paling tinggi. Contoh lain yaitu ketika seorang laki-laki terbangun pada malam hari di bulan Ramadhan karena suara pertandingan sepak bola. Ia memiliki keinginan untuk menontonnya. Akan tetapi, ia teringat dengan cita-citanya, apalagi pada bulan Ramadhan. Maka, ia akan membuang keinginannya dan lebih memilih membaca Al Quran dan shalat tahajud. Ia tidak peduli dengan suara teriakan gol karena ia tahu ia sedang menggapai cita-citanya. Jika ia tidak memiliki semangat yang tinggi, maka ia akan terlewat dalam meraih cita-citanya. Niat harus benar dan semangat harus tinggi. Allah pun Maha Tahu dengan niat kita, apakah kita jujur atau tidak kepada Allah. Jadi, perkaranya tergantung pada semangat dan niat seorang hamba, yang mana keduanya menentukan sesuatu yang dicari dan jalan yang ditempuh.   Ketahuilah bahwa semangat tinggi dan niat yang benar tidak akan bisa dilakukan kecuali dengan meninggalkan tiga hal, antara lain: Imbalan, penggambaran, dan semua pemberian dari manusia. Menjauhi rintangan-rintangan yang menghalangi dari fokus kepada cita-cita yang dicari dan jalan menuju cita-cita serta memutus rintangan tersebut. Memutuskan ketergantungan hati yang memalingkan antara dia dengan sesuatu yang dicari.   Pada Kitab Al Fawa’idul Fawaid karya Imam Ibnul Qayyim dijelaskan perbedaan antara rintangan (‘awa’iq) dan ketergantungan (‘ala’iq). Rintangan (‘awa’iq) yang dimaksud adalah rintangan kejadian yang terjadi di luar dirinya, sedangkan ketergantungan (‘ala’iq) adalah ketergantungan hati dengan hal yang mubah dan yang selainnya. Dari sini jelaslah bahwa cara untuk mencapai cita-cita yang tinggi adalah dengan (1) mengumpulkan semangat hanya untuk menggapai keridhoan Allah, (2) Semangat yang tinggi dan niat yang benar, (3) Menjauhi balasan dari manusia, memutus ketergantungan dari selain cita-cita, dan menyingkirkan rintangan.   Barangsiapa yang berusaha untuk kebaikan, maka Allah akan mudahkan ia mencapai kemudahan berupa surga. Begitu juga sebaliknya, maka Allah akan mudahkan ia menuju kesulitan (neraka). Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya usahamu beraneka ragam. Maka barangsiapa memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa. Dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga). Maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebahagiaan). Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak perlu pertolongan Allah), serta mendustakan (pahala) yang terbaik. Maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kesukaran (kesengsaraan).” (QS. Al Lail: 4-10) Orang yang beramal shalih dan yakin akan balasan di akhirat, maka Allah akan berikan balasan berupa surga. Begitu juga sebaliknya, orang yang kikir dalam beramal dan merasa tidak membutuhkan pertolongan Allah dalam beramal, maka Allah akan berikan balasan berupa kesulitan di neraka. Niat yang jujur juga akan menentukan jalan yang kita tempuh. Ketahuilah bahwa Allah telah menjadikan musim-musim kebaikan, di antaranya pada bulan Ramadhan, pada pagi dan malam hari, dan sebagainya. Sebenarnya amalan kebaikan itu mudah, tinggal kita membutuhkan latihan pembiasaan, dan amalan-amalan ini hanya dilakukan oleh orang-orang pilihan yang dimudahkan oleh Allah. Maka, milikilah niat yang benar dan semangat yang tinggi dalam meraihnya. Allah Ta’ala berfirman, “Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau yang ingin bersyukur.” (QS. Al Furqan: 62) Ibnu Katsir berkata, “Allah menjadikan malam dan siang untuk kita beribadah. Jika kita terlewat dari amalan wirid (rutin) kita, maka kita bisa menggantinya di waktu pagi (siang) atau malam.” Seperti kisah Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu. Pada suatu ketika beliau melakukan shalat Dhuha lebih lama. Beliau terlewat dari shalat malamnya sehingga menggantinya di pagi harinya. Wallahu a’lam. Dikutip secara makna dari Kajian Kitab “Asrarul Muhibbin fii Ramadhan” yang disampaikan oleh Ustadz Ricki Abu Ahmad Al Malanjiy hafizhahullah melalui Youtube pada tanggal 19 Februari 2022. Penulis: Ustadzah Mariela Dwi Damayanti, wali kelas 1 SDTA Kuttab Rumah Qur’an      

Artikel, Kajian Kitab Asrarul Muhibbin fii Ramadhan

Muqaddimah Kitab Asrarul Muhibbin fii Ramadhan

Kitab Asrarul Muhibbin fii Ramadhan adalah kitab yang berisi penjelasan tentang persiapan menghadapi bulan Ramadhan. Kitab ini tidak hanya berkaitan dengan fiqih, tetapi juga berisi rahasia hati yang diungkap penulis dari berbagai kitab. Puasa tidak hanya ibadah rutinitas, tetapi di dalam kitab ini juga dijelaskan muatan ibadah hati di dalam ibadah puasa.    Muqaddimah Muqaddimah adalah ringkasan yang menggambarkan isi suatu buku. Kitab Asrarul Muhibbin fii Ramadhan (أسرار المحبين في رمضان) adalah kitab yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Husain Ya’qub. Asrarul (أسرار) merupakan bentuk jamak dari kata as-sir (السر) yang berarti rahasia atau apa yang disembunyikan. Sedangkan al-muhibbin (المحبين) juga bentuk jamak dari kata muhib (محب) yang berarti orang yang mencintai. Jadi, Asrarul Muhibbin fii Ramadhan adalah kitab yang berisi tentang rahasia-rahasia orang yang mencintai Allah ketika beramal di bulan Ramadhan.    Tentang Penulis Syaikh Muhammad Husain Ya’qub lahir pada tahun 1375 H (1956 M) di desa Mu’tamadiyyah, Mesir. Beliau merupakan salah satu ulama salafiyyah pada semua aspek bidang. Beliau juga menuntut ilmu dari guru-guru salafiyyah, di antaranya; Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin, Syaikh Muhammad Mukhtar Asy Syinqithi, Syaikh Muhammad Ismail Muqaddam, dan lain-lain. Beliau memiliki perhatian besar pada beberapa kitab seperti kitab karya Ibnul Jauzi, Ibnul Qayyim, Ibnu Taimiyah, Adz Dzahabi, dan yang lainnya. Syarah kitab ini diambil dari Daurah Al Isti’dad Al Imaniyyah, penjelasan Syaikh Muhammad Husain Ya’qub dalam YouTube program Asrarul Muhibbin fii Ramadhan, Maktabah Syamilah, dan kitab aslinya Asrarul Muhibbin fii Ramadhan.    Penjelasan Muqaddimah Ketahuilah bahwa hal yang terindah di dunia ini adalah ketika Allah membuat kita mampu melakukan ketaatan. Tidak sepatutnya kita meremehkan amalan ketaatan yang Allah mampukan atas kita. Oleh karena itu, yakinlah bahwa itu adalah hal yang sangat indah bahkan terindah yang ada di dunia ini. Semua itu tergantung pada kita memaknai hal tersebut. Tidak semua orang bisa merasakannya.  Seperti istiqamah shalat lima waktu di masjid, menjadi guru di Kuttab Rumah Qur’an yang harus berangkat setiap pagi sambil mengajak serta anak-anak untuk ikut mengajar, khusyuk dalam shalat tahajud, dan lain-lain. Semua itu adalah nikmat dan taufiq dari Allah, Dzat yang mengetahui niat kita dan yang tidak bisa kita tipu.  Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah ta’ala berfirman, ‘Barangsiapa yang menyakiti waliku, maka Aku mengumumkan perang kepadanya. Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang paling Aku cintai selain apa yang Aku wajibkan baginya. Hamba-Ku senantiasa mendekat kepada-Ku dengan amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Apabila aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepadaku, pasti aku beri. Jika dia meminta perlindungan kepada-Ku pasti aku lindungi.’” (HR. Al-Bukhari no. 6502) Syarat utama menjadi wali Allah adalah melakukan kewajiban yang Allah bebankan sebaik mungkin, lalu berusaha mengamalkan amalan sunnah. Allah akan mencintainya dan menjaga pendengaran, penglihatan, tangan serta kakinya untuk kebaikan. Jika sudah melakukan hal tersebut, maka Allah akan mudahkan jalannya. Akan tetapi, jika kita melihat seseorang mendapatkan kemudahan tetapi tidak beribadah, maka bisa jadi itu istidraj baginya. Itu adalah ujian keimanan bagi kita yang melihatnya.  Syaikh Abdul Karim Al Khudhoir dalam Syarah Al Arba’in Nawawi menjelaskan bahwa Allah memberikan taufiq dan kemudahan untuk menggunakan nikmat-nikmat (anggota badan) dalam hal yang diridhoi Allah, dan tidak melakukan perbuatan yang Allah benci dengan anggota badan itu. Ia hanya menggunakan anggota badan untuk hal yang dicintai Allah semata.  Ibnul Qayyim dalam Fawaidul Fawaid mengatakan, “Jika seorang hamba berada di pagi dan sore hari sedangkan cita-citanya hanya Allah semata, (maka) Allah menanggung semua hajatnya dan menyingkirkan darinya semua kesedihannya, dan mengosongkan hatinya hanya untuk mencintai Allah, lisannya untuk dzikir kepada Allah, dan anggota badan untuk menaati Allah. “Jika ia berada di pagi dan sore hari, sedang dunia adalah cita-citanya, (maka) Allah akan membawa kesedihan, keresahan, kesulitan dunia serta membiarkan dia berusaha sendiri. Hatinya akan sibuk dari mencintai Allah menjadi mencintai makhluk, dan anggota badan dari menaati Allah menjadi melayani makhluk dan sibuk dengan mereka. Ia bekerja keras seperti binatang liar yang melayani binatang lainnya. Seperti kir -alat peniup pandai besi- yang meniup perutnya dan menekan tulang rusuknya dalam memberi manfaat kepada selainnya. “Semua yang berpaling dari penghambaan, ketaatan, dan cinta kepada Allah, maka dia akan ditimpa musibah dengan penghambaan, cinta, dan melayani makhluk.” Allah ta’ala berfirman, “Dan barangsiapa berpaling dari pengajaran Allah Yang Maha Pengasih (Al-Qur`ān), Kami biarkan setan (menyesatkannya) dan menjadi teman karibnya.” (Surat Az-Zukhruf, ayat 36)   Kesimpulan Yakinlah bahwa ketika Allah memudahkan kita dalam ketaatan, maka itu adalah hal yang terindah yang ada di dunia ini. Cara menjadi wali Allah adalah dengan melakukan kewajiban lalu mengamalkan sunnah yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan kepada kita. Jadikanlah cita-cita kehidupan kita hanya untuk Allah sehingga Allah memudahkan urusan-urusan kita dan menghapus kesedihan kita. Wallahu a’lam.   Ditulis secara makna dari kajian Kitab “Asrarul Muhibbin fii Ramadhan” oleh Ustadz Abu Ahmad Ricki Al Malanjiy hafizhahullah pada tanggal 12 Februari 2022.  Penulis: Ustadzah Mariela, wali kelas 1 SDTA Kuttab Rumah Qur’an 

Scroll to Top