Artikel

Artikel, Kajian 100 Hadits Pilihan

Keutamaan Air Zamzam

Hadits ke-33 | Hadits Jabir bin Abdillah Keutamaan Air Zam-zam Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Air zam-zam bermanfaat sesuai untuk apa meminumnya.” (HR. Ibnu Majah no. 3062) Air zam-zam adalah air yang memancar dari mata air dan merupakan mukjizat yang diberikan kepada Nabi Ismail ‘alaihis salam. Makna zam-zam artinya ‘berkumpullah, berkumpullah’ atau ‘air yang banyak’. Penjelasan Hadits 1. Air zam-zam adalah air yang terpancar dari mata air yang terletak berdekatan dengan Ka’bah di Makkah. 2. Air zam-zam adalah mukjizat Nabi Ismail ‘alaihis salam. 3. Air zam-zam memiliki banyak manfaat sesuai dengan niat orang yang meminumnya. Bisa sebagai makanan, obat, wasilah untuk memperkuat hafalan, dan lain-lain. 4. Diperbolehkan bertabarruk dengan disertai sebab-sebab syar’i yang diperintahkan oleh Allah. Sebab syar’i itu ada dua; (1) Memiliki dalil dari Al Quran atau hadits (2) Sesuai dengan hukum alam sehingga bisa dibuktikan secara ilmiah. Ada pun jika tidak terbukti dengan salah satu sebab di atas, maka tidak boleh kita mengambil manfaat darinya, seperti dari jimat, air keramat, batok sakti, dan lain-lain. Ini termasuk tabarruk yang terlarang. Dikutip dari kajian hadits 100 Hadits Pilihan yang disampaikan oleh Ustadz Sa’id Yai Ardiansyah pada tanggal 10 Rabi’ul Akhir 1443 H / 14 November 2021 M. Diringkas oleh Ustadzah Ela (Pengajar dan wali kelas 1 SDTA Kuttab Rumah Qur’an).

Kajian Hadits Shahih Al Bukhari

Perintah Imam kepada Rakyat Menurut Kemampuan Mereka

Hadits ke-1275 | Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu 1275. Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Pada hari ini saya ditemui oleh seorang laki-laki yang bertanya mengenai sesuatu yang tidak saya ketahui jawabannya. Dia bertanya, “Bagaimana menurut kamu seorang laki-laki yang mampu dan giat pergi bertempur menyertai pemimpin-pemimpin kami, kemudian pemimpin tersebut memerintahkan kepada kami hal-hal yang tidak mampu kami laksanakan?” Abdullah bin Masud menjawab, “Demi Allah saya tidak tahu apa yang harus saya berikan sebagai jawaban kepadamu. Namun selama kami menyertai Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau tidak memerintahkan sesuatu yang tidak mampu kami laksanakan. Siapa pun di antara kamu selalu berada dalam kebaikan selama ia bertakwa kepada Allah. Orang yang meragukan sesuatu sebaiknya bertanya kepada orang lain yang bisa menjelaskan dengan jawaban yang benar. Tetapi akan datang suatu masa yang ketika itu kamu tidak dapat menemukan orang yang bisa memberikan jawaban dengan benar. Demi Allah yang tiada Tuhan yang berhak disembah selain Dia! Saya memisalkan keadaan dunia ini seperti kolam, airnya yang bening diminum dan lambat laun akan habis, sedangkan lumpurnya yang keruh dibiarkan tersisa.” (Mungkin maksudnya semakin hari orang-orang shalih semakin berkurang sehingga yang tersisa banyak adalah orang-orang yang durhaka.) (HR. Al Bukhari no. 2964) Penjelasan Hadits Tujuan dijadikannya imam atau pemimpin adalah untuk memberikan kemaslahatan atau kebaikan kepada Allah. Seseorang datang kepada Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dan bertanya sesuatu yang Abdullah bin Masud tidak tahu jawabannya. Dia bertanya tentang seorang pemimpin yang memerintahkan sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh rakyatnya. Beliau menjawab tidak tahu dan hanya mengisahkan bagaimana beliau saat dalam kepemimpinan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidak pernah memerintahkan sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh rakyat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diantara hikmahnya adalah kita harus mengikuti sunnah (jalan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Khulafaur Rasyidin karena tidak ada pemimpin dan kepemimpinan sebaik mereka, bahkan sekelas kepemimpinan Muawiyyah sekali pun. Tidak ada rakyat yang tidak tercukupi kebutuhannya. Maka Abdullah bin Mas’ud mengisahkan bagaimana kepemimpinan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak pernah membebani orang lain yaitu rakyat beliau. Abdullah bin Mas’ud menasihati untuk selalu bertakwa sehingga mereka selalu dalam kebaikan. Ketika datang keraguan, maka mereka diminta untuk menanyakan hal tersebut kepada orang yang bisa menjelaskan kebenaran kepada mereka. Akan tetapi akan datang masa di mana tidak ada lagi orang yang bisa menjelaskan tentang kebenaran. Karena semakin berkembangnya zaman, dunia ini akan semakin menurun kualitasnya. Abdullah bin Mas’ud mengibaratkan dunia ini seperti kolam yang bening airnya, lalu lambat laun airnya akan habis dan hanya menyisakan lumpur yang keruh. Inilah hakikat dunia yang sangat rendah. Ambillah bagian dari dunia ini sesuai kebutuhan saja. Wallahu a’lam Dikutip dari kajian hadits Shahih Al Bukhari yang disampaikan oleh Ustadz Abdullah Amin pada tanggal 09 Rabi’ul Akhir 1443 H / 14 November 2021 M. Diringkas oleh Ustadzah Ela (Pengajar dan wali kelas 1 SDTA Kuttab Rumah Qur’an).                

Artikel

Jembatan Darurat

Sebuah siang di bulan November. Di SDTA Kuttab Rumah Qur’an yang kini berlantai tiga, kelas Bahasa Arab dimulai. Anak-anak kelas empat naik ke lantai paling atas sambil bercanda. Kelas empat SDTA Kuttab Rumah Qur’an hanya memiliki enam orang santri. Satu banat dan lima banin. Hari itu –qaddarullah– satu orang tidak masuk karena sakit, dan seorang lagi izin karena sedang mengalami musibah—kehilangan salah satu anggota keluarga terdekat. Biasanya, santri akan membawa serta sandal atau sepatu mereka jika ingin ke lantai tiga. Anak tangga yang menghubungkan lantai dua dan lantai tiga memang belum dipasang keramik. Serpihan semen dan debu bakal menempel di kaos kaki kalau kita tak memakai sepatu atau sandal. Sekalipun tahu soal itu, nyatanya keempat banin yang hadir kompak tak beralas kaki. Sambil jalan berjinjit, mereka cepat-cepat naik ke gazebo terdekat. Pelajaran Durusul Lughoh disambut dengan antusias. Pasalnya, whiteboard hanya ada di gazebo sebelah. Lantai masih digenangi air sisa hujan kemarin, dan pengajar bahasa Arab memutuskan untuk tetap di gazebo yang mereka tempati agar kaos kaki mereka tidak basah. Buku dimasukkan, dan tanya jawab dilakukan secara lisan. Pelajaran Durusul Lughoh disambung dengan hafalan adab santri Kuttab Rumah Qur’an. Satu per satu menyetorkan hafalan. Ada yang menyetorkan dua bab sekaligus, ada juga yang hanya setoran satu bab. Waktu untuk sholat Zhuhur masih dua puluh menit lagi. Pelajaran adab sudah diakhiri. Doa kafaratul majelis sudah selesai dibaca. Entah siapa yang memulai, mereka berempat sudah turun dari gazebo. Salah satunya sibuk memberi petunjuk. Ia mau tangga kayu yang tersandar di dinding lantai tiga diletakkan sejajar dengan lantai. “Agak sinikan! Sini, lho! Lho, kok malah ke sana! Bukan gituuu.” Begitulah ia terus memberi komando. Ketika yang dilaksanakan tak sesuai keinginan, akhirnya ia turun tangan langsung memindahkan tangga sambil menggerutu, “Gini lho. Masa nggak bisa.” “Naaah, kalau gini kan bisa pindah ke gazebo sebelah. Kaos kakinya nggak basah.” Matanya berbinar, barangkali bangga karena sudah melakukan sesuatu yang berguna. Berempat, bocah-bocah itu berbaris melangkah di atas sisi tangga yang sudah tergeletak di tengah genangan air. Mereka sibuk memperbaiki ‘arsitektur’ jembatan daruratnya. Saringan pasir ikut diletakkan di lantai, supaya mereka tidak harus melompat dari gazebo ke tangga panjang. Cukup melangkah saja. Untuk tambahan jembatan di bagian dekat gazebo sebelah, yang lebih jauh dari anak tangga penghubung lantai dua dan lantai tiga, mereka memindahkan beberapa bata ringan sebagai pijakan. Celoteh sang komandan sungguh membuat geli, “Nah, ini bisa bikin begini perlu IQ tinggi ini.” MasyaAllah. Semoga mereka tumbuh menjadi pemuda-pemuda yang sigap membaca situasi dan tanggap memberikan manfaat semaksimal yang mereka mampu. Setelah jembatan jadi, apa yang mereka lakukan? Namanya juga anak-anak. Setelah bosan berjalan menyusuri ‘jembatan’, tentu saja, mereka turun ke tengah genangan air. Sang komandan sibuk menyapu air yang menggenang di tengah-tengah sambil terus bertanya, kenapa sih airnya kok selalu kembali lagi? Kan nggak kering-kering jadinya! Ditulis oleh Ustadzah Yusant (Pengajar dan wali kelas 5-6 SDTA Kuttab Rumah Qur’an)

Kajian Hadits Shahih Al Bukhari

Baiat untuk Tidak Melarikan Diri dari Medan Tempur

Hadits ke-1271 | Hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma 1271. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Setahun setelah perjanjian Hudaibiyah, kami tiba kembali di Hudaibiyah. Tidak ada dua orang dari kami yang sepakat dengan pendapat yang sama di bawah pohon tempat kami menyatakan baiat, sebagai rahmat dari Allah.” Nafi’ (perawi) ditanya, “Baiat apa yang diminta oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada mereka? Apakah baiat untuk rela mati?” Dia menjawab, “Tidak. Nabi shallallahu alaihi wa sallam meminta mereka menyatakan baiat untuk bersabar.” (HR. Al Bukhari no 2958) Penjelasan Hadits Perjanjian Hudaibiyah terjadi ketika Rasulullah dan para sahabat pergi untuk mengerjakan umrah. Saat sampai di Hudaibiyah, Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu diutus ke Mekah untuk menemui pimpinan Quraisy. Lalu tersebarlah berita bahwa Utsman telah dibunuh. Padahal berita tersebut palsu. Lalu terjadi baiat yang dikenal dengan baiat Baitur Ridwan. Allah telah ridha kepada mereka saat mereka berbaiat di bawah pohon tersebut. Ada sekitar 1400-an orang yang ikut berbaiat membela Utsman bin Affan. Seluruh orang yang ikut dalam rombongan umrah termasuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ikut berbaiat untuk Utsman bin Affan kecuali satu orang. Pada tahun setelahnya, Abdullah bin Umar dan para sahabat kembali melewati Hudaibiyah tempat berbaiat. Akan tetapi mereka berselisih dan tidak ada yang sepakat di pohon mana mereka dulu berbaiat. Allah membuat mereka lupa di mana pohonnya padahal pohon tersebut disebutkan dalam Al Qur’an. لَّقَدۡ رَضِیَ ٱللَّهُ عَنِ ٱلۡمُؤۡمِنِینَ إِذۡ یُبَایِعُونَكَ تَحۡتَ ٱلشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِی قُلُوبِهِمۡ فَأَنزَلَ ٱلسَّكِینَةَ عَلَیۡهِمۡ وَأَثَـٰبَهُمۡ فَتۡحࣰا قَرِیبࣰا “Sungguh, Allah telah meridai orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon, Dia mengetahui apa yang ada dalam hati mereka, lalu Dia memberikan ketenangan atas mereka dan memberi balasan dengan kemenangan yang dekat.” (QS. Al Fatih: 18) Di antara hikmahnya adalah yang paling penting dalam peristiwa ini ialah baiatnya, orang-orang yang ikut dalam baiat, bukan pohonnya yang mana yang menjadi poin pentingnya. Bahkan akan menimbulkan mudharat jika seandainya pohon tersebut diketahui, seperti menjadi tempat kesyirikan dan sebagainya. “…Tidak ada dua orang dari kami yang sepakat dengan pendapat yang sama di bawah pohon tempat kami menyatakan baiat, sebagai rahmat dari Allah…” Maksud ‘rahmat Allah’ di sini bisa jadi keduanya yaitu tempat baiat dan sifat tupa para sahabat terhadap pohon tersebut. “…Nabi shallallahu alaihi wa sallam meminta mereka menyatakan baiat untuk bersabar…” Yang dimaksud ‘baiat untuk bersabar’ di sini adalah sabar untuk siap mati. Dari sini kita bisa mengambil pelajaran. Ketika pada masa itu orang-orang banyak yang datang melewati daerah ini, yaitu daerah Hudaibiyah, dan menemukan pohon ini dan itu, mereka mulai beranggapan bahwa pohon tersebut adalah pohon yang digunakan untuk baiat Baitur Ridwan. Maka Umar radhiyallahu ‘anhu lalu memerintahkan para sahabat untuk menebang pohon tersebut. Hal ini dilakukan untuk mencegah tumbuhnya benih kesyirikan pada masa yang akan datang. Belajarlah dari kesyirikan yang terjadi pertama kali di bumi tidak lama setelah masa Nabi Nuh ‘alaihissalam. Setan terus bersabar agar bisa menyesatkan manusia. Pada awalnya orang-orang shalih pada masa Nabi Nuh yang telah meninggal hanya dikenang jasa-jasanya. Kemudian seiring dengan berkembangnya zaman, setan menggoda mereka agar menjadikan orang-orang shalih yang telah wafat ini sebagai perantara untuk berdoa kepada Allah. Mereka berbuat kesyirikan dengan meminta-minta kepada selain Allah. Hadits ke-1272 | Hadits Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu 1272. Diriwayatkan dari Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Pada saat perang Al Harrah, saya ditemui oleh seseorang kemudian ia berkata kepada saya, “Ibnu Hanzhalah meminta orang-orang menyatakan baiat untuk rela mati.” Kemudian saya berkata, “Saya tidak akan memberikan baiat untuk hal ini kepada siapapun sepeninggal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.” (HR. Al Bukhari no. 2959) Penjelasan Hadits Perang Al Harrah termasuk perang fitnah. Perang fitnah adalah perang yang terjadi antara sesama kaum muslimin. Di antara perang fitnah yang pernah terjadi adalah Perang Jamal dan Perang Shiffin. Perang Jamal adalah perang yang terjadi di mana pada awalnya para sahabat telah bersepakat pada suatu masalah yang mereka perselisihkan. Akan tetapi, ada ketidaksenangan dari pihak lain terhadap kesepakatan kedamaian tersebut sehingga menyulut peperangan. Perang Al Harrah terjadi di Masjidil Haram. Pada perang tersebut, Abdullah bin Zubair ikut terbunuh. Maka Ibnu Handzalah meminta orang-orang berbaiat agar siap mati. Akan tetapi Abdullah bin Sayyid tidak mau berbaiat siap mati kepada siapa pun setelah sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena tidak ada tuntunan dan syariat untuk melakukan hal tersebut. Akan tetapi, yang disyariatkan adalah baiat untuk taat kepada pemimpin yang sah dari kaum muslimin. Hadits ke-1273 | Hadits Salamah bin Al Akwa’ radhiyallahu ‘anhu 1273. Diriwayatkan dari Salamah bin Al Akwa’ radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Saya telah menyatakan baiat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kemudian saya bernaung di bawah pohon. Ketika orang-orang yang mengerumuni Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tinggal sedikit, beliau bertanya, “Wahai putra Al Akwa’! Apakah kamu belum menyatakan baiat?” Saya menjawab, “Ya, Rasulullah! Saya sudah menyatakan baiat.” Beliau bersabda, “Ulangi!” Maka saya memberikan baiat yang kedua kalinya. Ditanyakan oleh seseorang kepadanya, “Baiat apa yang kalian berikan pada saat itu?” Dia menjawab, “Baiat untuk rela mati.” (HR. Bukhari no. 2960) Penjelasan Hadits Salamah bin Al Akwa’ radhiyallahu anhu diminta untuk kembali berbaiat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Baiat tersebut diulangi kembali olehnya yaitu baiat untuk siap mati, yang sifatnya lebih khusus. Tidak semua orang dibaiat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk baiat siap mati. Akan tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah ridha terhadap semua yang hadir dalam baiat. Baiat yang pertama adalah baiat untuk bersabar, sedangkan baiat yang kedua adalah baiat untuk siap mati. Kedua baiat tersebut tidak saling bertentangan dalam hadits-hadits yang telah disebutkan di atas. Keduanya adalah baiat untuk siap membela Islam. Hadits ke-1274 | Hadits Mujasyi’ radhiyallahu ‘anhu 1274. Diriwayatkan dari Mujasyi’ radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Saya dan saudara laki-laki saya menemui Nabi shallallahu alaihi wa sallam kemudian saya berkata kepada beliau, “Terimalah baiat kami untuk berhijrah.” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Hijrah sudah berlalu bagi orang-orang yang menjalaninya.” Saya katakan lagi, “Lalu bai’at apa yang anda terima dari kami?” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Baiat untuk Islam dan jihad.” (HR. Al Bukhari no. 2962 dan 2963) Penjelasan

Fiqih dan Ushul Fiqih

Rukun Wudu’ Antara Fiqih Madzhab Syafi’i dan Madzhab Hanbali

Dalam ilmu Fiqih, rukun adalah sesuatu yang harus dikerjakan dalam suatu ibadah. Jika 1 rukun tidak dilakukan maka ibadah tidak sah. Begitu juga dengan syarat dalam suatu ibadah. Jika 1 syarat tidak terpenuhi maka ibadahnya tidak sah.   Apa Bedanya Syarat dan Rukun?   Syaikhunaa Doktor Nur Sya’lan murid, Syaikhunaa Doktor Wahid Abdussalam Bali, ketika menerangkan Kitab Bidayatu Al Mutafaqqih menjelaskan bahwa perbedaan syarat dan rukun terletak pada tempatnya dalam ibadah. Syarat letaknya sebelum melakukan ibadah sedangkan rukun letaknya ketika melakukan ibadah.   Nah, sekarang kita bandingkan kitab dasar fiqih madzhab Syafi’i dan kitab dasar dalam fiqih madzhab hanbali yang disusun Syaikhunaa Wahid Abdussalam Bali.   Syaikh Salim bin Sumair Al Hadhromi berkata dalam kitab dasar fiqih madzhab Syafi’i yang beliau beri judul Safinatun Najah Fii Maa Yajibu ‘Alal ‘Abdi Li Maulahu,   ،فُرُوضُ الْوُضُوءِ سِتَّةً Rukun Wudu ada 6, الْاُولی: النِّيَّة Yang pertama adalah niat الثاني: غَسْلُ الْوَجْهِ Yang kedua adalah membasuh wajah الثَّالِثُ: غَسْلُ اليَدَيْنِ مَعَ الْمِرْفَقَيْنِ Yang ketiga adalah membasuh kedua tangan hingga siku الرابع: مَسْحُ شَيْءٍ مٍنَ الرَّاسِ Yang keempat adalah mengusap sebagian dari kepala الخامس: غَسْلُ الرِّجْلَيْنِ مَعَ الْكَعْبَيْنِ Yang kelima adalah membasuh kedua kaki sampai mata kaki. السادس: التَّرْتِيبُ Yang keenam adalah urut Sekarang mari kita bandingkan dengan madzhab hanbali sebagaimana ditulis oleh Syaikhuna Wahid bin Abdussalam Bali dalam kitab Bidayatu Al Mutafaqqih, beliau berkata,   فُرُوضُ الْوُضُوءِ سِتَّةٌ Rukun wudu ada 6 ١۔ غَسْلُ الْزَجْهِ ومِنْهُ الْمَضْمَضَةُ والاِسْتِنْشَاقُ 1. Membasuh wajah termasuk madhmaghoh (kumur) dan istinsyaq (menghirup air dalam hidung) ٢۔ غَسْلُ الْيَدَيْنِ مَعَ المِرْفَقَينِ وتَخْلِيلِ الْاَصابِعِ 2. Membasuh kedua tangan sampai siku dengan menyela jari jari. ٣۔ مَسْحُ الرَّاسِ وَمِنْهُ الْاُذُنَانِ 3. Mengusap kepala termasuk telinga ٤۔ غَسْلُ الرِّجْلَينِ مَعَ الْكَعْبَيْنِ وَتخْلِيلُ الْاَصَابِعَهُمَا 4. Membasuh kedua kaki sampai mata kaki disertai menyela nyela jari ٥۔ التَّرتيبُ 5. Urut ٦۔ الْمُوَالَاةُ 6. Bersambung   Nah, perhatikan bagaimana 2 kitab dasar ini bersepakat dan berbeda.   Perbedaannya dalam madzhab hanbali niat bukan termasuk rukun karena niat dilaksanakan sebelum melaksanakan ibadah. Niat adalah termasuk syarat ibadah. Sedangkan dalam madzhab Syafi’i niat termasuk rukun karena dikerjakan bersamaan dengan ibadah terutama di bagian awal melakukan ibadah.   Karena itu Syaikh Salim bin Sumair Al Hadhromi mengatakan dalam Matan Safinatun Najah,   النِّيَّةُ: قَصْدُ الشَّيءِ مُقْتَرِنًا بِفِعْلِهِ Niat adalah maksud melakukan sesuatu yang dilakukan bersamaan dengan perbuatannya. Jadi, dalam madzhab Syafi’i niat dilakukan ketika awal membasuh wajah.   Perbedaannya lainnya adalah terletak pada mengusap kepala dimana dalam madzhab Syafi’i mengusap sebagian kepala sudah mencukupi walaupun sedikit dari kulit kepala atau rambut dan tidak keluar dari batasan kepala namun dalam madzhab hanbali hanya disebutkan mengusap kepala yang diartikan seluruh kepala.   Sumber perbedaannya adalah pada ayat,   وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ   Bagi ulama yang menganggap ba’ disini Lil ilshoq maka memaknainya dengan “usaplah seluruh kepalamu”, sedangkan ulama yang menganggap Lit Tab’idl maka memaknainya dengan “usaplah sebagian kepalamu”.   Perbedaannya lainnya adalah adanya rukun muwaalah Madzhab hanbali ketika kita wudu kemudian terputus dengan kegiatan lain maka harus mengulang wudu karena kita tidak melakukan rukun muwalah. Ini berbeda dengan madzhab Syafi’i.   Di balik perbedaan jika anak-anak kita menghafal matan dalam satu madzhab saja maka ia telah mampu menjaga wudunya dengan tepat dan menguasai pondasi madzhab.   Karena itu, anak-anak santri di Kuttab Rumah Qur’an menghafal matan Safinatun Najah dan mempelajarinya. Pilihan kitab ini karena di negeri kita mayoritas bermadzhab Syafi’i sehingga mereka perlu mendapat dasar yang bagus dalam madzhab ini sehingga mampu berkembang di level berikutnya.   Semoga bermanfaat   Ingin dapat faidah harian seperti ini? Yuk gabung di grup WA Info Kuttab RuQu.   https://chat.whatsapp.com/K4dODXojzlF5sisFKCq1Aq

Scroll to Top