Artikel

Ilmu Qur'an

Al Qur’an Memuliakan Suatu Kaum dan Merendahkan Yang Lain

Bagaimana perasaan anda tatkala Allah menjadikan anak anda memiliki kedudukan mulia tidak hanya di akhirat, namun dunia dan akhirat? Apa yang anda rasakan tatkala nama anda dipanggil dan disertakan pada anak anda yang telah Allah muliakan di dunia dan akhirat? Sebuah rasa bangga dan syukur yang dianjurkan bagi kita untuk memilikinya. Saudaraku, tahukah anda? Allah akan memuliakan seseorang dengan sebab ia selalu berinteraksi dengan al Qur’an dan akan merendahkan seseorang yang lain dengan sebab ia menjauhi al Qur’an. Kami sebut interaksi karena yang dituntut bukan hanya sekedar membaca tulisan demi tulisan atau sekedar menghafalkan teks tanpa peduli makna dan kandungan amalnya. Namun, interaksi berarti selalu tilawah, menghafal, mentadabburi, mengamalkan hingga mengajarkan al Qur’an. Disebutkan hadits dari Nafi’ bin Abdul Harits, suatu ketika beliau bertemu dengan Umar bin Khaththab di suatu tempat bernama ‘Ushfan. Saat itu Umar bin Khaththab memerintahkan Nafi’ untuk memimpin kota Mekkah (sedangkan sebelumnya beliau telah memimpin daerah ‘Ushfan). Umar bin Khaththab bertanya kepada Nafi’, “Siapa yang akan kamu tunjuk sebagai penggantimu untuk memimpin penduduk kota ini?” Nafi’ berkata, “Saya menunjuk Ibnu Abza utuk memimpin mereka” Umar berkata, “ٍSiapa Ibnu Abza?” Nafi’ menjawab, “Ia adalah seorang laki-laki dari mantan budak di antara kami” Kemudian Umar berkata, “Kamu memilih mantan budak untuk memimpin mereka?” Kemudian Nafi’ menjawab, “Sesungguhnya Ibnu Abza adalah Qori’ al Qur’an, faham ilmu Faroidh, dan seorang hakim.” Kemudian Umar berkata, “Sesungguhnya Nabi kalian telah bersabda, ‌إِنَّ ‌اللهَ ‌يَرْفَعُ ‌بِهَذَا ‌الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ “Sesungguhnya Allah mengangkat (derajat) suatu kaum dengan sebab kitab ini (yaitu al Qur’an) dan merendahkan kaum lain dengan sebab kitab ini juga.” Hadits Shohih Riwayat Muslim, Ahmad, ad Darimi, Ibnu Majah MasyaAllah, perhatikan dengan seksama hadits ini. Seorang budak yang bahkan tidak memiliki hak kepemilikan dari dirinya sendiri. Seseorang dari strata terendah dalam masyarakat, namun tatkala ia membaca, menghafal, memahami, dan mengamalkan al Qur’an hingga ia faham ilmu di dalamnya, maka Allah mengangkat derajatnya dari strata paling rendah menjadi strata paling tinggi di masyarakat. Ini baru di dunia, bagaimana keadaannya ketika di akhirat? Lalu bagaimana jika andalah yang sangat berjasa bagi anak anda dalam memotivasi dan mengarahkannya hingga ia tergerak untuk menjadi ahlul Qur’an? Semoga Allah menjadikan anak-anak kita semuanya menjadi ahlul Qur’an sebelum menjadi ahli bidang mereka masing-masing. Abu Ahmad Ricki al Malanjiy, Rabu, 9 Rabiul Awwal 1444 (5 Oktober 2022) di rumah ibu kami, Merjosari, Malang.

Kajian Kitab Asrarul Muhibbin fii Ramadhan

Menggapai Cita dengan Semangat Tinggi dan Niat yang Benar

Bulan Ramadhan segera datang bertamu kepada kita dan akan pergi dengan cepat. Hendaknya kita menyiapkan ilmu dan hati kita. Apakah kita sudah memiliki amalan rahasia di sisi Allah? Ketahuilah, bahwa hal tersulit bagi orang-orang yang takut kepada Allah adalah berbuat ikhlas, yaitu menjadikan niat beramal kita hanya untuk Allah semata. Selain itu, ketahuilah bahwa puncak kenikmatan di dunia ini adalah tatkala Allah menjadikan kita mampu melakukan ketaatan kepada-Nya. Milyaran orang tidak merasakan kenikmatan ini. Akan tetapi kita bisa merasakannya dengan melakukan berbagai bentuk ibadah. Berpindah dari satu ibadah ke ibadah yang lain sesuai dengan keutamaannya. Kita juga harus memiliki cita-cita yang tinggi. Seperti masuk surga berdampingan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, melihat wajah Allah Ta’ala, masuk surga tertinggi, dll.   Lalu, bagaimana cara meraih sebab agar Allah menjadikan kita mampu melakukan ketaatan? Ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya bisa kita dapatkan karena rahmat (kasih sayang) Allah Ta’ala. Kita hanya bisa mengusahakan sebab agar rahmat Allah Ta’ala turun kepada kita. Ibnul Qayyim Al Jauziyyah berkata, “Cita-cita (harapan) yang tinggi akan tercapai dengan semangat yang tinggi dan niat yang benar. Barangsiapa yang kehilangan keduanya, maka ia akan terhalang untuk menggapainya. Jika semangat itu tinggi, maka ia akan selalu terhubung dengan cita-citanya saja dan mengesampingkan yang selainnya. Jika niat itu benar, maka seorang hamba akan meniti jalan yang mampu menyampaikan kepada cita-citanya tersebut. Niat yang benar akan memfokuskan jalan untuk mencapai cita-cita. Sedangkan semangat akan memfokuskan kita pada cita-cita yang dicari. Jika cita-cita yang dicari dan jalan untuk mencapai cita-cita tersebut menjadi satu kesatuan, maka pada umumnya cita-cita tersebut akan tercapai.  Jika semangat itu rendah, maka ia akan terhubung dengan sesuatu yang rendah dan tidak terikat dengan cita-cita (harapan) tinggi. Sedangkan jika niatnya tidak benar, maka jalan yang ia tempuh bukanlah jalan yang bisa menyampaikan pada cita-cita tersebut.” Contoh dalam permasalahan ini di antaranya orang yang memahami akhirat. Cita-citanya hanya berkaitan dengan akhirat seperti masuk surga paling tinggi. Maka, ia akan pelit dengan waktunya dan hanya ia gunakan untuk sesuatu yang dapat menyelamatkannya dari neraka dan bisa meraih surga yang tinggi. Saat ada hal mubah yang menggoda, maka ia akan menolak dan memilih sesuatu yang bisa mendekatkan diri kepada cita-citanya yang paling tinggi. Contoh lain yaitu ketika seorang laki-laki terbangun pada malam hari di bulan Ramadhan karena suara pertandingan sepak bola. Ia memiliki keinginan untuk menontonnya. Akan tetapi, ia teringat dengan cita-citanya, apalagi pada bulan Ramadhan. Maka, ia akan membuang keinginannya dan lebih memilih membaca Al Quran dan shalat tahajud. Ia tidak peduli dengan suara teriakan gol karena ia tahu ia sedang menggapai cita-citanya. Jika ia tidak memiliki semangat yang tinggi, maka ia akan terlewat dalam meraih cita-citanya. Niat harus benar dan semangat harus tinggi. Allah pun Maha Tahu dengan niat kita, apakah kita jujur atau tidak kepada Allah. Jadi, perkaranya tergantung pada semangat dan niat seorang hamba, yang mana keduanya menentukan sesuatu yang dicari dan jalan yang ditempuh.   Ketahuilah bahwa semangat tinggi dan niat yang benar tidak akan bisa dilakukan kecuali dengan meninggalkan tiga hal, antara lain: Imbalan, penggambaran, dan semua pemberian dari manusia. Menjauhi rintangan-rintangan yang menghalangi dari fokus kepada cita-cita yang dicari dan jalan menuju cita-cita serta memutus rintangan tersebut. Memutuskan ketergantungan hati yang memalingkan antara dia dengan sesuatu yang dicari.   Pada Kitab Al Fawa’idul Fawaid karya Imam Ibnul Qayyim dijelaskan perbedaan antara rintangan (‘awa’iq) dan ketergantungan (‘ala’iq). Rintangan (‘awa’iq) yang dimaksud adalah rintangan kejadian yang terjadi di luar dirinya, sedangkan ketergantungan (‘ala’iq) adalah ketergantungan hati dengan hal yang mubah dan yang selainnya. Dari sini jelaslah bahwa cara untuk mencapai cita-cita yang tinggi adalah dengan (1) mengumpulkan semangat hanya untuk menggapai keridhoan Allah, (2) Semangat yang tinggi dan niat yang benar, (3) Menjauhi balasan dari manusia, memutus ketergantungan dari selain cita-cita, dan menyingkirkan rintangan.   Barangsiapa yang berusaha untuk kebaikan, maka Allah akan mudahkan ia mencapai kemudahan berupa surga. Begitu juga sebaliknya, maka Allah akan mudahkan ia menuju kesulitan (neraka). Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya usahamu beraneka ragam. Maka barangsiapa memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa. Dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga). Maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebahagiaan). Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak perlu pertolongan Allah), serta mendustakan (pahala) yang terbaik. Maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kesukaran (kesengsaraan).” (QS. Al Lail: 4-10) Orang yang beramal shalih dan yakin akan balasan di akhirat, maka Allah akan berikan balasan berupa surga. Begitu juga sebaliknya, orang yang kikir dalam beramal dan merasa tidak membutuhkan pertolongan Allah dalam beramal, maka Allah akan berikan balasan berupa kesulitan di neraka. Niat yang jujur juga akan menentukan jalan yang kita tempuh. Ketahuilah bahwa Allah telah menjadikan musim-musim kebaikan, di antaranya pada bulan Ramadhan, pada pagi dan malam hari, dan sebagainya. Sebenarnya amalan kebaikan itu mudah, tinggal kita membutuhkan latihan pembiasaan, dan amalan-amalan ini hanya dilakukan oleh orang-orang pilihan yang dimudahkan oleh Allah. Maka, milikilah niat yang benar dan semangat yang tinggi dalam meraihnya. Allah Ta’ala berfirman, “Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau yang ingin bersyukur.” (QS. Al Furqan: 62) Ibnu Katsir berkata, “Allah menjadikan malam dan siang untuk kita beribadah. Jika kita terlewat dari amalan wirid (rutin) kita, maka kita bisa menggantinya di waktu pagi (siang) atau malam.” Seperti kisah Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu. Pada suatu ketika beliau melakukan shalat Dhuha lebih lama. Beliau terlewat dari shalat malamnya sehingga menggantinya di pagi harinya. Wallahu a’lam. Dikutip secara makna dari Kajian Kitab “Asrarul Muhibbin fii Ramadhan” yang disampaikan oleh Ustadz Ricki Abu Ahmad Al Malanjiy hafizhahullah melalui Youtube pada tanggal 19 Februari 2022. Penulis: Ustadzah Mariela Dwi Damayanti, wali kelas 1 SDTA Kuttab Rumah Qur’an      

Artikel

Makna Ushul As Sunnah

  Imam Ahmad bin Hanbal adalah salah satu imam ahlus sunnah wal jama’ah. Fitnah telah terjadi di masa beliau di mana ahlus sunnah diuji dengan penguasa yang terpengaruh dengan pemahaman mu’tazilah. Aqidah mu’tazilah dijadikan sebagai dasar aqidah bagi kaum muslimin pada masa itu. Di antara cara yang mereka tempuh adalah dengan memaksa para ulama untuk menyatakan aqidah tersebut di hadapan pengikutnya yaitu kaum muslimin. Sebagian ulama mengambil rukhshah (keringanan) karena keterpaksaan dan ancaman dari penguasa. Jika tidak mengambil aqidah mu’tazilah tersebut, maka bisa disiksa bahkan dibunuh. Akan tetapi, terdapat beberapa ulama yang tidak mengambilnya dan memilih untuk mempertahankan aqidah ahlus sunnah wal jama’ah. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal di mana beliau juga paling diharapkan untuk menyatakan ucapan kekufuran, di antaranya ucapan bahwa Al Quran adalah makhluk (ciptaan). Maka, Imam Ahmad bin Hanbal bertahan dengan aqidah ahlus sunnah wal jama’ah, bahkan beliau menulis kitab Ushul As Sunnah ini yang berkaitan dengan prinsip-prinsip aqidah ahlus sunnah wal jama’ah. Imam Ahmad bin Hanbal lebih dikenal dalam masalah aqidah dibandingkan guru-guru beliau, di antaranya Imam Syafi’i dan guru-guru di atasnya termasuk Imam Malik dan Imam Abu Hanifah radhiyallahu ‘anhum. Pada hakikatnya, para imam tersebut memiliki aqidah yang sama, yang terlihat dari kitab-kitab yang mereka tulis, Mereka adalah imam panutan kaum muslimin ahlus sunnah wal jama’ah. Mereka tidak hanya imam dalam masalah fiqih, akan tetapi juga imam dalam masalah aqidah dan keseluruhan pemahaman dalam agama ini. Makna ‘imam’ dalam aqidah jauh lebih penting dibandingkan sekedar ‘imam’ dalam masalah fiqih. Oleh sebab itu, mereka lebih layak disebut imam ahlus sunnah wal jama’ah karena memiliki aqidah yang sama meskipun madzhab mereka berbeda. Aqidah adalah masalah yang paling penting dalam agama ini yang harus dipertahankan. Oleh sebab itulah, penting bagi kita untuk mempelajari kitab-kitab aqidah termasuk kitab Ushul As Sunnah. Makna Ushul As Sunnah Makna sunnah adalah seluruh ajaran Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Makna sunnah tidak dipahami secara parsial di mana salah satunya sunnah diartikan sebagai perkara yang tidak sampai pada taraf wajib. Selain itu, terkadang makna sunnah juga diartikan sebagai hadits. Adapun dalam kitab-kitab aqidah, maka makna sunnah bukanlah demikian. Secara bahasa, makna ushul adalah apa yang dibangun di atasnya (pondasi). Makna lainnya adalah apa yang bercabang di atasnya. Sebagaimana ashlusy syajarah bermakna dasar pohon atau akar yang di atasnya ada banyak cabang baik cabang daun, buah, atau bunga. Semuanya tidak akan tumbuh dengan baik jika akarnya tidak tertancap dengan baik. Jadi, secara bahasa ushul memiliki dua makna yaitu akar (ashlusy syajarah) dan pondasi bangunan (ashlu bina). Adapun makna aqidah adalah pondasi seluruh perkara agama. Dari sini kita bisa memahami bahwa makna ushulus sunnah adalah pokok-pokok atau prinsip agama, yaitu segala perkara yang mendasar dalam agama atau disebut dengan aqidah.  As Sunnah (aqidah) memiliki pokok-pokok dasar berupa prinsip-prinsip dasar yang dinukil dan diajarkan pertama kali oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sunnah juga mencakup apa yang dinukil dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum terutama apa saja yang mereka sepakati atau tidak ada perselisihan maupun perbedaan di antara mereka. Yaitu apa-apa yang dinukil dari para sahabat ketika mereka menjalankan agama ini pada masa khulafaur rasyidin berupa prinsip-prinsip yang mereka tegakkan dan ajarkan kepada para tabi’in. Inilah yang disebut sebagai sunnah khulafaur rasyidin. Karena sunnah mereka tidak pernah keluar dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka menetapkannya tanpa ada pengingkaran dari sahabat yang lainnya. Tidaklah disebut sunnah apabila tidak disepakati atau terdapat pengingkaran dari sahabat lainnya. Contohnya seperti sikap ketika menghadapi perbedaan, maka ini bisa disebut sebagai sunnah khulafaur rasyidin. Oleh sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan agar kita selalu berpegang teguh kepada sunnah beliau dan sunnah khulafaur rasyidin. Inilah estafet agama yang terus berjalan dan tidak akan pernah berhenti. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-‘Irbadh bin Sariyyah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Kami pernah dinasihati oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sebuah nasihat yang amat mendalam, yang menyebabkan air mata kami berlinang dan hati kami bergetar, lalu seorang Sahabat bertanya: ‘Ya Rasulullah, seakan-akan ini sebagai nasihat seseorang yang akan pergi, maka apa pesanmu kepada kami?’ Beliau pun bersabda: ‘Aku wasiatkan kepadamu agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan patuh (kepada pimpinan), meskipun ia seorang budak dari Habasyah (Ethiopia), karena sesungguhnya orang yang hidup di antara kamu sesudahku akan melihat perselisihan yang banyak, maka berpegang teguhlah kamu kepada sunnahku dan sunnah para Khulafa’ (pengikutku) yang mendapat petunjuk, berpegang teguhlah kamu padanya dan gigitlah dengan geraham-geraham (mu), dan jauhilah hal-hal yang diada-adakan (dalam agama) karena setiap yang baru itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Abu Dawud dan yang lainnya, dishahihkan oleh Ibnu Majah, demikian pula Syaikh Albani telah menelitinya). Dalam hadits lain juga disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan senantiasa ada sekelompok orang di antara umatku yang menang di atas kebenaran, tidaklah membahayakan mereka orang lain yang menyia-nyiakan mereka hingga datang ketetapan Allah sementara mereka senantiasa berada dalam keadaan demikian.” Sedangkan di dalam haditsnya Qutaibah tidak disebutkan kata-kata, “Sementara mereka senantiasa berada dalam keadaan demikian.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Imarah, hadits no. 1920. Lihat Syarh Nawawi [6/544])   Maka, dari sini kita bisa memahami bahwa sunnah merupakan perkara mendasar dalam agama ini. Seluruh perkara dalam syariat Islam dibangun di atas aqidah Islam, baik shalat, puasa, zakat, haji, dan amalan lainnya. Allah ta’ala berfirman, “Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An Nisa’: 115)   Ushulussunnah mencakup sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah khulafaur rasyidin sebagaimana yang telah diwasiatkan oleh Rasulullah di atas. Hal ini menggambarkan pentingnya berpegang teguh kepada sunnah terutama di akhir zaman ini karena terdapat banyak penyimpangan dan banyak sekali kaum muslimin yang terpengaruh dengan berbagai keyakinan di luar mereka. Mengapa disebutkan prinsip-prinsip sunnah juga mencakup apa yang dijalankan khulafaur rasyidin dan para sahabat?  Hal ini bisa kita pahami dari ucapan sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma bahwa para sahabat adalah teladan terbaik dalam memahami

Faidah Singkat, Fiqih dan Ushul Fiqih

Penentuan Awal Ramadhan Menurut Madzhab Syafi’i

  Syaikh Salim bin Sumair Al Hadhromi (wafat 1271 H) mengatakan, يجب صوم رمضان بأحد أمور خمسة: Puasa Ramadhan wajib dilaksanakan dengan 5 sebab: أحدها: بكمال شعبان ثلاثين يوما. Yang pertama: Sempurnanya bulan Sya’ban menjadi 30 hari وثانيها : برؤية الهلال في في حق من رآه وإن كان فاسقا Yang kedua: Dengan melihat langsung hilal bagi orang yang melihatnya walau dia adalah orang fasik (maksudnya: jika ada seseorang walaupun fasik melihat hilal maka ia (yang melihat hilal) wajib berpuasa) وثالثها : بثبوته في حق من لم يره بعدل شهادة Yang ketiga : Dengan kepastian kesaksian orang yang adil bagi orang yang belum melihatnya. ورابعها : بإخبار عدل رواية موثوق به ، سواء وقع في القلب صدقه أم لا ، أو غير موثوق به إن وقع في القلب صدقه. Yang keempat: Dengan berita orang yang adil dan dipercaya baik dalam hati kita yakin akan kejujurannya atau pun tidak. Atau orang yang tidak adil jika hati kita yakin akan kejujuran orang yang membawa berita. وخامسها : بظن دخول رمضان بالاجتهاد فيمن ٱشتبه عليه ذلك Yang kelima: Dengan dugaan kuat masuk Romadhon dengan ijtihad pribadi bagi orang yang ragu. Matan Safinatun Najah karya Syaikh Salim bin Sumair Al Hadhromiy Ada pun Syaikh Abdulloh bin Abdurrahman Bafadhl Al Hadhromi mengatakan (wafat 981 H), يجب صوم رمضان باستكمال شعبان ثلاثين ، أو برؤية عدل ٱلهلال ، Wajib berpuasa Romadhon dengan sebab sempurnanya bulan Sya’ban 30 hari atau dengan sebab seorang yang adil melihat hilal Matan Muqoddimah Al Hadhromiyyah karya Syaikh Abdulloh bin Abdurrahman Bafadhl Al Hadhromi Syaikh Yahya Al ‘Imrithiy (wafat 988 H) mengatakan, وبانتها شعبان للكمال … او حكم قاض قبل بالهلال شهر الصيام واجب الصيام … Dengan selesainya bulan Sya’ban secara sempurna … Atau penentuan hukum adanya hilal dari hakim sebelumnya Bulan puasa wajib (bagi kita) untuk berpuasa Nihayatu at Tadrib karya Syaikh Yahya Al ‘Imrithiy (penulis nazhom Al Ajrumiyyah) Dari sini kita bisa simpulkan, menurut madzhab Syafi’i awal bulan Ramadhan bisa ditentukan dengan 2 cara. 1. Menyempurnakan bulan Sya’ban hingga 30 hari 2. Keputusan hakim bahwa hilal telah terlihat sebelumnya. Ada pun Syaikh Salim bin Sumair Al Hadhromi merinci kembali, bagi orang yang yakin melihat hilal tetapi hakim tidak menetapkannya, orang tersebut wajib puasa. Namun, orang yang tidak melihat langsung, ia mengikuti keputusan hakim. Ada pun dalam kondisi tidak ada hakim maka tergantung keyakinan kita pada pembawa berita. Jika pembawa berita adalah orang yang dikenal adil maka kita wajib mengikuti berita itu. Atau pembawa berita bukan orang adil tapi kita yakin kebenaran beritanya, maka kita juga mengikuti berita orang itu tentang wajibnya puasa. Ada pun jika semua masih kesulitan maka kita harus berijtihad pribadi sesuai dengan dugaan yang paling kuat. Wallahu a’lam Rumah Kontrakan Grandsuroso 1, Malang Rabu, 13 Sya’ban 1443 (16 Maret 2022) Fawaid Abu Ahmad Ricki Al Malanjiy

Scroll to Top